Requiem Richard



Chapter 6 : Dion Kestara     

Wita melangkah mendekatiku. Dia tersenyum melihatku. Setelah beberapa saat dia kemudian tertawa, dan mengangkat pisaunya ke atas.
            “Sa, kita akan selamat Sa. Aku telah mengerti apa yang dimaksud nada sumbang.”
            Aku masih berdiri tak berdaya di depan Wita. Tubuhku kaku, aku tidak dapat menggerakkannya sejak bertatapan dengan iblis itu.
            “Apa maksud lu Wit?” Elsa berteriak.
            Wita belum menjawab, sejurus kemudian dia menusuk perutku dengan pisaunya. Aku tak dapat lagi berdiri, tubuhku lemas. Aku jatuh tengkurap. Sebelum aku terjatuh, Wita telah menarik pisaunya dari perutku. Darah berhamburan. Sakit memang, tapi lagi-lagi aku tidak dapat menggerakkan tubuhku, bahkan bibirku.
            “Lu gila Wit. Apa yang lu lakukan pada Andre? Lu tidak melihat Andre sudah tidak berdaya!”
            “Bukannya kamu sendiri yang memberitahukan apa yang harus aku lakukan. Seharusnya sebagai pemusik kamu tahu, nada sumbang terjadi ketika ada dua nada yang ditekan bersamaan. Dan jika Andre mati malam ini, maka Kutukan Requiem akan berarti. Dua nada berarti dua orang, ditekan bersamaan berarti mati dalam semalaman, ini yang ingin diberitahukan Reta kepada kita. Requiem sebentar lagi akan berakhir dan kita akan selamat Sa!”
            Wita menginjak kepalaku. Hak sepatunya seperti menusuk ke dalam otakku. Jika aku bisa berteriak, aku akan berteriak saat ini juga. Tetes keringat sudah bercampur darah dan membasahi bajuku. Aku semakin tidak berdaya, dan kesadaranku mulai melemah. Aku takut jika kupejamkan mata, aku tidak akan kembali membukanya.
            “Bunga belum mati Wit! Belum! Lagipula ayahku memimpin sektor H kali itu, H bahkan bukanlah sebuah nada.”
            “Kau memangnya tidak tahu Kutukan Requiem berasal darimana? Jerman.”
            Jerman, satu hal yang aku ketahui tentang musik di sana adalah perbedaan tangga nada. Si dalam dunia musik dituliskan dengan huruf B, sedangkan di Jerman dituliskan dengan huruf H. Mungkinkah urutan kematian ini benar-benar sesuai Kutukan Requiem?
            “Jerman?” Elsa sedikit gemetar. Dia ketakutan.
            “Aaaakkk!” Aku berteriak dengan kencang.
            Perih. Wita menusuk tanganku dengan pisaunya. Dan mendengar teriakan dariku, dia memandangku dengan cemas.
            “Rupanya pengaruh racun yang aku berikan mulai menghilang.” Dia menginjak kepalaku dengan lebih keras.
            Aku teringat dengan air jeruk yang diberikan Wita tadi. Apa mungkin dia mencampurkan suatu racun di sana? Racun yang membuat tubuhku kaku. Tapi untuk apa dia melakukan ini? Apa benar dia sangat ingin membunuhku?
            “Lu gila Wit. Hentikan.” Elsa berkata sambil terbatuk-batuk
            “Kenapa kamu sekarang memohon padaku? Setelah tadi kamu berniat memukulku. Hah!” Wita menendang wajahku, bibirku berdarah.
            “Karena gua sahabat lu Wit. Gua tidak mau lu semakin jatuh. Wit, kita bisa menyelesaikan Kutukan ini tanpa harus mengorbankan Andre.”
            “Terlambat! Minggu depan adalah giliranku, jika aku tidak membunuh Andre sekarang juga. Minggu depan mungkin saja aku telah merenggang nyawa.” Wita menggoreskan pisau ke pipiku.
            Aku tidak pernah menyangka Wita yang kukenal sangat baik ternyata adalah seorang monster. Monster yang sebentar lagi akan membunuhku dengan segala ketidakberdayaanku.
            “Lalu jika minggu depan kamu masih terbunuh bagaimana? Bukannya kematian Andre jadi sia-sia?” Elsa berusaha membujuk Wita.
            Wita terdiam. Dia melihat ke arahku. Kondisi aku benar-benar mengenaskan. Bajuku sudah sangat basah oleh campuran keringat dan darah. Perutku kurasa akan meledak, berkali-kali aku rasakan semburan darah semakin deras. Tangan kananku masih tertancap pisau. Dan wajahku mulai dilumuri darah, penglihatanku mulai kabur. Aku menyerah. Aku pasrah. Aku takut. Aku mempersilahkan Wita untuk segera membunuhku. Tapi hati ini berkata lain, hati ini belum mau mati. Demikian mataku, mata ini bergelimang air mata, bercampur dengan darah yang membasahi wajahku. Pandanganku semakin kabur.
            Dalam kondisi seperti itu, aku dapat melihat Wita menangis. Dia pergi meninggalkan kami. Seiring langkahnya yang mulai menghilang, suara ambulan semakin terdengar. Aku hanya bisa mendengar suara seseorang saat itu. Dia mendatangi kami dengan kursi rodanya.
            Suami Lidya Pratiwi itu terkejut melihat keadaan kami apalagi setelah melihat keadaan anaknya. Suami Lidya Pratiwi, maksudku Dion Kestara, ayah dari Doni Kestara dan Richard Kestara.
***
            Seminggu telah berlalu sejak kejadian itu. Aku masih mengingat bunyi sirine ambulans dan dinginnya ruang ICU. Aku juga masih mengingat berkantung-kantung darah telah diberikan pihak rumah sakit.
            Setelah dokter menjahit lukaku, aku dipindahkan ke ruangan ini. Ruangan yang cukup besar, tapi hanya ada aku sendiri di ruangan ini. Mungkin ayahku yang meminta ruangan khusus ini, ayahku sendiri sudah sering menjengukku. Beberapa temanku juga datang menjengukku, dan ketika mereka menanyakan apa yang terjadi padaku. Aku cuma bisa menggeleng lemah. Saat itulah suster menjelaskan kondisiku masih lemah dan belum bisa bicara banyak.
            Kondisiku sebenarnya sudah pulih dari hari ke hari. Aku hanya bingung menjawab pertanyaan mereka. Aku tidak mungkin membeberkan apa yang telah Wita lakukan padaku, karena bisa saja Wita nantinya akan dijebloskan ke hotel pradeo.
            Elsa sendiri kondisinya sudah pulih sejak empat hari yang lalu. Dia terkadang mendatangi kamarku sambil menangis. Dari raut wajahnya, aku dapat melihat kekhawatiran akan kondisi Bunga. Dia cerita bahwa sejak kejadian itu, Bunga masih saja kritis. Dan jika dalam seminggu tidak ada perubahan, dokter terpaksa menyerah.
            Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Senin ini terlihat begitu cerah, karena aku akhirnya meninggalkan rumah sakit. Lukaku memang belum benar-benar pulih, tapi dokter menyarankan untuk berobat jalan. Aku memang sudah tidak ingin berlama-lama di rumah sakit. Aku khawatir dengan kondisi Wita dan Richard, karena sejak saat ini mereka belum menunjukkan batang hidungnya.
***
            “Sekali lagi keluarga kami minta maaf Pak Dion.”
            Pak Dion tersenyum.
            Siang ini keluargaku menggelar syukuran atas kesembuhanku. Bukan keluarga sebenarnya, karena hanya ada ayahku dan tanteku. Ibu dan kakakku telah meninggal beberapa tahun yang lalu dalam kejadian itu.
            Ayahku sendiri sedang meminta maaf kepada Pak Dion. Mata ayahku berkaca-kaca, dia menceritakan tentang kelicikan dia dan sembilan orang lainnya. Ya, I-corp yang mereka dirikan dengan susah payah sedang mengalami krisis dan terancam bangkrut. Salah satu anak perusahaan harus ditutup, dan mereka memilih perusahaan Pak Dion. Dan sekarang, korban kelicikan ayahku ini justru menyelamatkan anak semata wayangnya.
            “Biarkan kami bicara bertiga ya yah.” Aku memohon kepada ayahku.
            “Baiklah, tapi jika kamu butuh bantuan telepon saja ayah. Ayah akan pergi kerja terlebih dahulu.”
            Dan di sini hanya tinggal kami berempat, aku, Elsa, Pak Dion dan pengasuh Pak Dion. Pembicaraan ini akan sangat serius, karena Pak Dion sudah berjanji untuk menguak kejahatan Doni.
            Elsa sendiri sibuk menelepon pihak rumah sakit menanyakan kabar Bunga. Dan hasilnya tetap nihil, Bunga masih kritis.
            “Maafkan anak saya.” Pak Dion akhirnya membuka pembicaraan.
            “Sebelumnya, aku ingin bertanya sedikit. Mohon maaf, kenapa bapak bisa sampai ke rumah Elsa bersama mobil ambulans?” Aku lihat sekeliling, tidak ada yang berbeda dari rumahku sejak seminggu yang lalu.
            “Doni memang anak saya yang kejam. Tapi saya sadar kekejamannya berasal dari perbuatanku. Saat itu, saya mendengar teriakan Richard meraung-raung. Doni menggendongnya dan melemparkan Richard masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian Doni sudah menyeret dua orang, dan saya yakin itu adalah kamu dan salah satu teman wanitamu. Saya begitu cemas saat itu. Dan tanpa sengaja saya menemukan handphone terselip di bawah selimut. Keberuntungan menghampiri saya, tiba-tiba pengaruh racun itu menghilang. Saya akhirnya menelepon salah satu rekan saya. Doni entah hilang ke mana, rekan saya berhasil menjemput saya dan membawa keluar saya dari rumah itu.”
            “Bapak diracuni?”
            “Racun yang membuat tubuh saya kaku. Saya tidak benar-benar lumpuh total, selama ini saya diracuni agar lumpuh total. Saya tidak menyangka Doni begitu kejam terhadap saya.”
            Ya, perkiraan saya tentang racun itu tepat. Jawaban Pak Dion dari pertanyaanku semakin membawaku ke sebuah asumsi, Wita dan Doni bersekongkol.
            “Apa benar dia yang membunuh istri bapak?” Elsa bertanya dengan perlahan sambil menunjuk foto Wita.
            “Dia adalah guru private musik Richard. Saya mengenalnya sudah sejak tiga bulan yang lalu. Wita merupakan anak baik, bahkan saya tidak pernah menyangka dia yang membunuh istri saya. Malam itu, Richard memainkan Requiem. Notasi nada Requiem yang baru saja dia terima dari gurunya terus saja dia mainkan sepanjang malam itu. Saya pun memutuskan untuk tidur. Richard kemudian berteriak, saat itulah aku melihat di kamar mandiku guru musik Richard sedang menusuk Lidya.”
            Pak Dion berhenti berbicara. Matanya mulai berkaca-kaca, dia mengeluarkan sapu tangannya. Berat memang untuk menceritakan kematian orang yang dicintai, apalagi kematiannya adalah suatu pembunuhan.
            “Saya kaget. Lidya melihat saya dengan penuh air mata. Saya berlari mengejarnya. Hingga saya merasakan sebuah tangan menarik kaki saya, saya terjatuh. Saya berusaha merangkak, tapi tarikan tangan itu semakin kuat. Dan Doni saat itu dia berdiri di hadapan saya. Dia tertawa, apalagi setelah melihat ibunya memuntahkan darah. Saya berteriak ke arahnya. Dia malah meludahi saya, kemudian mencekoki saya dengan pil. Dan memukul kepala saya, hingga pandangan saya kabur dan gelap.”
            Aku memandang iba kepada Pak Dion. Doni benar-benar keterlaluan. Aku memang mengerti dulu dia disiksa oleh ayahnya, tapi sejahat apapun ayahnya, dia yang membesarkan Doni. Aku pun menjadi kesal kepada ayahku, dan para pemimpin I-corp lainnnya yang membuat Pak Dion bangkrut. Mereka bisa dikatakan adalah salah satu penyebab kematian Ibu Lidya.
            “Saya terbangun di tempat tidur saya. Suasana hujan deras saat itu, tidak ada yang bisa saya lakukan selain menggerakkan bola mata dan mengangkat leher saya. Di saat itu saya berteriak minta tolong, saya takut saya lumpuh total. Teriakan saya dibalas oleh teriakan lain, Richard diseret di depan pintu kamar saya oleh Doni. Richard dipaksa berdiri, lalu dengan sigap Doni mencambukinya. Berulang kali Richard terjatuh, semakin dia jatuh semakin dia dicambuki. Tak terasa air mata mulai menetes di pipi saya.  Saya sadar, ternyata  dahulu saya sekeji itu.”
            Air mata telah jatuh berlinang di mata Pak Dion. Elsa berusaha melihat ke arah lain, matanya sudah terlihat merah. Kasih sayang sepertinya telah hilang seutuhnya dari Doni. Aku tidak pernah menyangka Doni yang terlihat lugu itu ternyata sekeji ini.
            “Dan setiap malam selasa, semenjak kedatangan kamu ke rumah kami. Saya selalu mendengar teriakan Richard di balik kamarnya. Dan di pagi harinya, dia main ke kamar saya. Dia membawa harmonikanya, sambil memainkannya. Dia terkadang juga bercerita bahwa dia telah mempuyai ibu baru. Sayangnya ibu barunya jahat dan suka menggigiti jarinya ketika malam selasa tiba. Dia berkata setelah jarinya putus, ibunya akan menelan jarinya hingga tersisa kukunya saja dan menghilang. Saya memang awalnya tidak percaya, tapi begitu melihat jari Richard hilang satu per satu, saya tidak dapat memungkirinya.”
            Setelah berkata demikian, Pak Dion terbatuk-batuk. Sedikit darah keluar dari mulutnya. Pak Dion menggelengkan kepalanya. Air matanya mengalir semakin deras. Aku menatap iba kepadanya.
            “Mungkin ini hal terakhir yang bisa saya katakan saat ini.” Pak Dion memalingkan wajahnya ke arah pengasuhnya.
            Mereka berdua akhirnya meninggalkan rumahku. Terik matahari saat itu sangat menyengat. Berbeda sekali dengan apa yang kami sebut semangat. Ya, aku dan Elsa sudah merasa putus asa. Kami bahkan rela jika kami berada di urutan kematian selanjutnya. Semuanya tidak akan pernah kembali semula. Bunga masih tetap kritis. Aku masih memiliki luka dalam yang cukup kronis.
***
            “Dre!”
            Suara teriakan Elsa terdengar jelas nyaring di telingaku. Waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Hujan deras telah membuatku terlelap lebih lama dari yang aku rencanakan. Iya, sesaat setelah Pak Dion pergi, Elsa memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, aku memutuskan untuk istirahat dan memulihkan tenagaku.
            “Richard Dre! Richard hilang dari rumah sakit!”
            “Kok bisa?”
            “Gua juga tidak tahu. Tapi firasat gua dia ada di rumah Doni. Pak Dion belum gua beritahu, gua takut dia lemah jantungnya. Lebih baik kita ke sana Dre, sekarang!”
            “Aku tidak mau. Aku sudah menyerah dari permainan ini. Aku sudah menyerah di hadapan kematian, jangan paksa aku bermain dengannya lagi. Aku tidak bisa.”
            “Lalu lu mau membiarkan anak kecil itu terluka lagi? Ingat Dre, Richard lebih butuh masa depan dengan kita. Kita tidak pernah bermain dengan kematian. Iblis dan Kutukan Requiem tidak akan pernah menggiring kita dalam sebuah kematian Dre. Percayalah! Kita akan mengakhirinya hari ini!”
            Elsa telah menyalakan api semangatku lagi. Aku sadar, aku hidup bukan hanya untuk diriku. Aku sadar Richard butuh kehidupan yang lebih baik dari ini. Wita, iblis, bahkan Kutukan Requiem tidak akan bisa mengambil kehidupanku dan Richard. Karena kami, kami akan mengakhirinya di hari ini!
             

           

Komentar

Postingan Populer