Requiem Richard
Wita melangkah
mendekatiku. Dia tersenyum melihatku. Setelah beberapa saat dia kemudian
tertawa, dan mengangkat pisaunya ke atas.
“Sa,
kita akan selamat Sa. Aku telah mengerti apa yang dimaksud nada sumbang.”
Aku
masih berdiri tak berdaya di depan Wita. Tubuhku kaku, aku tidak dapat
menggerakkannya sejak bertatapan dengan iblis itu.
“Apa
maksud lu Wit?” Elsa berteriak.
Wita
belum menjawab, sejurus kemudian dia menusuk perutku dengan pisaunya. Aku tak
dapat lagi berdiri, tubuhku lemas. Aku jatuh tengkurap. Sebelum aku terjatuh,
Wita telah menarik pisaunya dari perutku. Darah berhamburan. Sakit memang, tapi
lagi-lagi aku tidak dapat menggerakkan tubuhku, bahkan bibirku.
“Lu
gila Wit. Apa yang lu lakukan pada Andre? Lu tidak melihat Andre sudah tidak
berdaya!”
“Bukannya
kamu sendiri yang memberitahukan apa yang harus aku lakukan. Seharusnya sebagai
pemusik kamu tahu, nada sumbang terjadi ketika ada dua nada yang ditekan
bersamaan. Dan jika Andre mati malam ini, maka Kutukan Requiem akan berarti.
Dua nada berarti dua orang, ditekan bersamaan berarti mati dalam semalaman, ini
yang ingin diberitahukan Reta kepada kita. Requiem sebentar lagi akan berakhir
dan kita akan selamat Sa!”
Wita
menginjak kepalaku. Hak sepatunya seperti menusuk ke dalam otakku. Jika aku
bisa berteriak, aku akan berteriak saat ini juga. Tetes keringat sudah
bercampur darah dan membasahi bajuku. Aku semakin tidak berdaya, dan
kesadaranku mulai melemah. Aku takut jika kupejamkan mata, aku tidak akan
kembali membukanya.
“Bunga
belum mati Wit! Belum! Lagipula ayahku memimpin sektor H kali itu, H bahkan
bukanlah sebuah nada.”
“Kau
memangnya tidak tahu Kutukan Requiem berasal darimana? Jerman.”
Jerman,
satu hal yang aku ketahui tentang musik di sana adalah perbedaan tangga nada. Si
dalam dunia musik dituliskan dengan huruf B, sedangkan di Jerman dituliskan
dengan huruf H. Mungkinkah urutan kematian ini benar-benar sesuai Kutukan
Requiem?
“Jerman?”
Elsa sedikit gemetar. Dia ketakutan.
“Aaaakkk!”
Aku berteriak dengan kencang.
Perih.
Wita menusuk tanganku dengan pisaunya. Dan mendengar teriakan dariku, dia
memandangku dengan cemas.
“Rupanya
pengaruh racun yang aku berikan mulai menghilang.” Dia menginjak kepalaku
dengan lebih keras.
Aku
teringat dengan air jeruk yang diberikan Wita tadi. Apa mungkin dia
mencampurkan suatu racun di sana? Racun yang membuat tubuhku kaku. Tapi untuk
apa dia melakukan ini? Apa benar dia sangat ingin membunuhku?
“Lu
gila Wit. Hentikan.” Elsa berkata sambil terbatuk-batuk
“Kenapa
kamu sekarang memohon padaku? Setelah tadi kamu berniat memukulku. Hah!” Wita
menendang wajahku, bibirku berdarah.
“Karena
gua sahabat lu Wit. Gua tidak mau lu semakin jatuh. Wit, kita bisa
menyelesaikan Kutukan ini tanpa harus mengorbankan Andre.”
“Terlambat!
Minggu depan adalah giliranku, jika aku tidak membunuh Andre sekarang juga. Minggu
depan mungkin saja aku telah merenggang nyawa.” Wita menggoreskan pisau ke
pipiku.
Aku
tidak pernah menyangka Wita yang kukenal sangat baik ternyata adalah seorang
monster. Monster yang sebentar lagi akan membunuhku dengan segala
ketidakberdayaanku.
“Lalu
jika minggu depan kamu masih terbunuh bagaimana? Bukannya kematian Andre jadi
sia-sia?” Elsa berusaha membujuk Wita.
Wita
terdiam. Dia melihat ke arahku. Kondisi aku benar-benar mengenaskan. Bajuku
sudah sangat basah oleh campuran keringat dan darah. Perutku kurasa akan
meledak, berkali-kali aku rasakan semburan darah semakin deras. Tangan kananku
masih tertancap pisau. Dan wajahku mulai dilumuri darah, penglihatanku mulai
kabur. Aku menyerah. Aku pasrah. Aku takut. Aku mempersilahkan Wita untuk
segera membunuhku. Tapi hati ini berkata lain, hati ini belum mau mati.
Demikian mataku, mata ini bergelimang air mata, bercampur dengan darah yang
membasahi wajahku. Pandanganku semakin kabur.
Dalam
kondisi seperti itu, aku dapat melihat Wita menangis. Dia pergi meninggalkan
kami. Seiring langkahnya yang mulai menghilang, suara ambulan semakin
terdengar. Aku hanya bisa mendengar suara seseorang saat itu. Dia mendatangi
kami dengan kursi rodanya.
Suami
Lidya Pratiwi itu terkejut melihat keadaan kami apalagi setelah melihat keadaan
anaknya. Suami Lidya Pratiwi, maksudku Dion Kestara, ayah dari Doni Kestara dan
Richard Kestara.
***
Seminggu
telah berlalu sejak kejadian itu. Aku masih mengingat bunyi sirine ambulans dan
dinginnya ruang ICU. Aku juga masih mengingat berkantung-kantung darah telah
diberikan pihak rumah sakit.
Setelah
dokter menjahit lukaku, aku dipindahkan ke ruangan ini. Ruangan yang cukup
besar, tapi hanya ada aku sendiri di ruangan ini. Mungkin ayahku yang meminta
ruangan khusus ini, ayahku sendiri sudah sering menjengukku. Beberapa temanku
juga datang menjengukku, dan ketika mereka menanyakan apa yang terjadi padaku.
Aku cuma bisa menggeleng lemah. Saat itulah suster menjelaskan kondisiku masih
lemah dan belum bisa bicara banyak.
Kondisiku
sebenarnya sudah pulih dari hari ke hari. Aku hanya bingung menjawab pertanyaan
mereka. Aku tidak mungkin membeberkan apa yang telah Wita lakukan padaku, karena
bisa saja Wita nantinya akan dijebloskan ke hotel pradeo.
Elsa
sendiri kondisinya sudah pulih sejak empat hari yang lalu. Dia terkadang
mendatangi kamarku sambil menangis. Dari raut wajahnya, aku dapat melihat
kekhawatiran akan kondisi Bunga. Dia cerita bahwa sejak kejadian itu, Bunga
masih saja kritis. Dan jika dalam seminggu tidak ada perubahan, dokter terpaksa
menyerah.
Waktu
sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Senin ini terlihat begitu cerah, karena
aku akhirnya meninggalkan rumah sakit. Lukaku memang belum benar-benar pulih,
tapi dokter menyarankan untuk berobat jalan. Aku memang sudah tidak ingin
berlama-lama di rumah sakit. Aku khawatir dengan kondisi Wita dan Richard,
karena sejak saat ini mereka belum menunjukkan batang hidungnya.
***
“Sekali
lagi keluarga kami minta maaf Pak Dion.”
Pak
Dion tersenyum.
Siang
ini keluargaku menggelar syukuran atas kesembuhanku. Bukan keluarga sebenarnya,
karena hanya ada ayahku dan tanteku. Ibu dan kakakku telah meninggal beberapa
tahun yang lalu dalam kejadian itu.
Ayahku
sendiri sedang meminta maaf kepada Pak Dion. Mata ayahku berkaca-kaca, dia
menceritakan tentang kelicikan dia dan sembilan orang lainnya. Ya, I-corp yang
mereka dirikan dengan susah payah sedang mengalami krisis dan terancam
bangkrut. Salah satu anak perusahaan harus ditutup, dan mereka memilih
perusahaan Pak Dion. Dan sekarang, korban kelicikan ayahku ini justru
menyelamatkan anak semata wayangnya.
“Biarkan
kami bicara bertiga ya yah.” Aku memohon kepada ayahku.
“Baiklah,
tapi jika kamu butuh bantuan telepon saja ayah. Ayah akan pergi kerja terlebih
dahulu.”
Dan
di sini hanya tinggal kami berempat, aku, Elsa, Pak Dion dan pengasuh Pak Dion.
Pembicaraan ini akan sangat serius, karena Pak Dion sudah berjanji untuk
menguak kejahatan Doni.
Elsa
sendiri sibuk menelepon pihak rumah sakit menanyakan kabar Bunga. Dan hasilnya
tetap nihil, Bunga masih kritis.
“Maafkan
anak saya.” Pak Dion akhirnya membuka pembicaraan.
“Sebelumnya,
aku ingin bertanya sedikit. Mohon maaf, kenapa bapak bisa sampai ke rumah Elsa
bersama mobil ambulans?” Aku lihat sekeliling, tidak ada yang berbeda dari
rumahku sejak seminggu yang lalu.
“Doni
memang anak saya yang kejam. Tapi saya sadar kekejamannya berasal dari
perbuatanku. Saat itu, saya mendengar teriakan Richard meraung-raung. Doni
menggendongnya dan melemparkan Richard masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit
kemudian Doni sudah menyeret dua orang, dan saya yakin itu adalah kamu dan
salah satu teman wanitamu. Saya begitu cemas saat itu. Dan tanpa sengaja saya menemukan
handphone terselip di bawah selimut.
Keberuntungan menghampiri saya, tiba-tiba pengaruh racun itu menghilang. Saya
akhirnya menelepon salah satu rekan saya. Doni entah hilang ke mana, rekan saya
berhasil menjemput saya dan membawa keluar saya dari rumah itu.”
“Bapak
diracuni?”
“Racun
yang membuat tubuh saya kaku. Saya tidak benar-benar lumpuh total, selama ini
saya diracuni agar lumpuh total. Saya tidak menyangka Doni begitu kejam
terhadap saya.”
Ya,
perkiraan saya tentang racun itu tepat. Jawaban Pak Dion dari pertanyaanku
semakin membawaku ke sebuah asumsi, Wita dan Doni bersekongkol.
“Apa
benar dia yang membunuh istri bapak?” Elsa bertanya dengan perlahan sambil
menunjuk foto Wita.
“Dia
adalah guru private musik Richard.
Saya mengenalnya sudah sejak tiga bulan yang lalu. Wita merupakan anak baik,
bahkan saya tidak pernah menyangka dia yang membunuh istri saya. Malam itu, Richard
memainkan Requiem. Notasi nada Requiem yang baru saja dia terima dari gurunya
terus saja dia mainkan sepanjang malam itu. Saya pun memutuskan untuk tidur.
Richard kemudian berteriak, saat itulah aku melihat di kamar mandiku guru musik
Richard sedang menusuk Lidya.”
Pak
Dion berhenti berbicara. Matanya mulai berkaca-kaca, dia mengeluarkan sapu
tangannya. Berat memang untuk menceritakan kematian orang yang dicintai,
apalagi kematiannya adalah suatu pembunuhan.
“Saya
kaget. Lidya melihat saya dengan penuh air mata. Saya berlari mengejarnya.
Hingga saya merasakan sebuah tangan menarik kaki saya, saya terjatuh. Saya
berusaha merangkak, tapi tarikan tangan itu semakin kuat. Dan Doni saat itu dia
berdiri di hadapan saya. Dia tertawa, apalagi setelah melihat ibunya
memuntahkan darah. Saya berteriak ke arahnya. Dia malah meludahi saya, kemudian
mencekoki saya dengan pil. Dan memukul kepala saya, hingga pandangan saya kabur
dan gelap.”
Aku
memandang iba kepada Pak Dion. Doni benar-benar keterlaluan. Aku memang
mengerti dulu dia disiksa oleh ayahnya, tapi sejahat apapun ayahnya, dia yang
membesarkan Doni. Aku pun menjadi kesal kepada ayahku, dan para pemimpin I-corp
lainnnya yang membuat Pak Dion bangkrut. Mereka bisa dikatakan adalah salah
satu penyebab kematian Ibu Lidya.
“Saya
terbangun di tempat tidur saya. Suasana hujan deras saat itu, tidak ada yang
bisa saya lakukan selain menggerakkan bola mata dan mengangkat leher saya. Di
saat itu saya berteriak minta tolong, saya takut saya lumpuh total. Teriakan
saya dibalas oleh teriakan lain, Richard diseret di depan pintu kamar saya oleh
Doni. Richard dipaksa berdiri, lalu dengan sigap Doni mencambukinya. Berulang
kali Richard terjatuh, semakin dia jatuh semakin dia dicambuki. Tak terasa air
mata mulai menetes di pipi saya. Saya sadar,
ternyata dahulu saya sekeji itu.”
Air
mata telah jatuh berlinang di mata Pak Dion. Elsa berusaha melihat ke arah
lain, matanya sudah terlihat merah. Kasih sayang sepertinya telah hilang
seutuhnya dari Doni. Aku tidak pernah menyangka Doni yang terlihat lugu itu
ternyata sekeji ini.
“Dan
setiap malam selasa, semenjak kedatangan kamu ke rumah kami. Saya selalu
mendengar teriakan Richard di balik kamarnya. Dan di pagi harinya, dia main ke
kamar saya. Dia membawa harmonikanya, sambil memainkannya. Dia terkadang juga
bercerita bahwa dia telah mempuyai ibu baru. Sayangnya ibu barunya jahat dan
suka menggigiti jarinya ketika malam selasa tiba. Dia berkata setelah jarinya
putus, ibunya akan menelan jarinya hingga tersisa kukunya saja dan menghilang.
Saya memang awalnya tidak percaya, tapi begitu melihat jari Richard hilang satu
per satu, saya tidak dapat memungkirinya.”
Setelah
berkata demikian, Pak Dion terbatuk-batuk. Sedikit darah keluar dari mulutnya.
Pak Dion menggelengkan kepalanya. Air matanya mengalir semakin deras. Aku
menatap iba kepadanya.
“Mungkin
ini hal terakhir yang bisa saya katakan saat ini.” Pak Dion memalingkan
wajahnya ke arah pengasuhnya.
Mereka
berdua akhirnya meninggalkan rumahku. Terik matahari saat itu sangat menyengat.
Berbeda sekali dengan apa yang kami sebut semangat. Ya, aku dan Elsa sudah
merasa putus asa. Kami bahkan rela jika kami berada di urutan kematian
selanjutnya. Semuanya tidak akan pernah kembali semula. Bunga masih tetap
kritis. Aku masih memiliki luka dalam yang cukup kronis.
***
“Dre!”
Suara
teriakan Elsa terdengar jelas nyaring di telingaku. Waktu sudah menunjukkan jam
sembilan malam. Hujan deras telah membuatku terlelap lebih lama dari yang aku
rencanakan. Iya, sesaat setelah Pak Dion pergi, Elsa memutuskan untuk kembali
ke rumah sakit, aku memutuskan untuk istirahat dan memulihkan tenagaku.
“Richard
Dre! Richard hilang dari rumah sakit!”
“Kok
bisa?”
“Gua
juga tidak tahu. Tapi firasat gua dia ada di rumah Doni. Pak Dion belum gua
beritahu, gua takut dia lemah jantungnya. Lebih baik kita ke sana Dre,
sekarang!”
“Aku
tidak mau. Aku sudah menyerah dari permainan ini. Aku sudah menyerah di hadapan
kematian, jangan paksa aku bermain dengannya lagi. Aku tidak bisa.”
“Lalu
lu mau membiarkan anak kecil itu terluka lagi? Ingat Dre, Richard lebih butuh
masa depan dengan kita. Kita tidak pernah bermain dengan kematian. Iblis dan
Kutukan Requiem tidak akan pernah menggiring kita dalam sebuah kematian Dre.
Percayalah! Kita akan mengakhirinya hari ini!”
Elsa
telah menyalakan api semangatku lagi. Aku sadar, aku hidup bukan hanya untuk
diriku. Aku sadar Richard butuh kehidupan yang lebih baik dari ini. Wita,
iblis, bahkan Kutukan Requiem tidak akan bisa mengambil kehidupanku dan
Richard. Karena kami, kami akan mengakhirinya di hari ini!
Komentar
Posting Komentar