Requiem Richard
Chapter 4 : Pembunuh yang Cantik
“Mama!”
Anak
kecil itu berlari di antara hutan belukar dengan kaki telanjang. Malam telah
semakin gelap, dia terus berlari tanpa mengenal lelah. Kakinya tidak berhenti
hingga akhirnya dia terjatuh. Dan saat dia terjatuh, sebuah cahaya terlihat
dari ujung hutan itu.
“Mama!”
Anak
itu kembali berteriak. Daun dan ranting dia bersihkan dari rambut hitam
pendeknya. Dia merangkak menuju cahaya itu, dengan tangan dan kakinya yang
mengucurkan darah. Dia terus merangkak, cahaya itu semakin mendekat.
“Tunggu!”
Aku
juga berteriak, berteriak kepada anak itu. Aku merasa tak asing dengan bentuk
tubuh anak itu, hanya saja, wajahnya tertutup bayang-bayang hitam. Aku akhirnya
mengejarnya, menuju cahaya itu. Semakin mendekati cahaya itu, aku semakin
mendengar ada alunan musik indah. Permainan piano yang sangat indah. Aku merasa
sering mendengar permainan musik ini.
“Dik
hentikan permainannya, hentikan!”
Di
balik cahaya itu, aku dapat melihat anak kecil tadi merengek kepada anak
perempuan yang memainkan piano di depannya. Aku berusaha mendekat, melihat
mereka dengan seksama. Dan saat aku mulai merasa dekat, aku menginjak sesuatu.
Benda yang aku injak seperti kaki manusia. Benar saja ketika aku menunduk ke
bawah, aku melihat seorang wanita tergeletak.
“Mama!”
Anak
kecil itu berjalan ke arahku, memeluk wanita yang terbaring di dekatku. Dia
terus memanggil mama ke wanita itu,. Aku membungkukkan badan, berusaha melihat
wajah mereka berdua.
“Jangan!”
Suara Reta terdengar nyaring di telingaku.
Aku
menengok. Cahaya yang sangat terang menusuk mataku.
***
Cahaya
terang itu memudar, menyisahkan beberapa titik cahaya yang semakin lama semakin
membentuk sebuah wajah. Seorang wanita sekarang terpampang jelas depan mataku.
Sebelum aku menyadari tentang apa yang terjadi, dia menggoyangkan kedua pipiku.
“Dre,
sudah dong pingsannya.”
Dia
berusaha tersenyum sambil mengatakan hal itu. Tapi aku dapat melihat raut
kekhawatiran terpampang jelas di mukanya saat itu.
“Ini
di mana?”
“Kamu
sudah sadar Dre? Terima kasih Tuhan.”
“Kenapa
kita di sini Wit?”
Aku
dapat melihat sekeliling ruangan ini dengan jelas sekarang. Kardus berjejer
dengan rapi, dengan sedikit pemanis bangku kayu yang sudah rusak. Debu menyebar
di setiap kotak-kotak lantai.
“Aku
tidak tahu apa yang terjadi. Setelah memukul kamu hingga pingsan, Doni membius
aku juga.”
“Doni?”
Aku berusaha mengingat tentang yang terjadi sebelumnya.
“Iya,
dia tiba-tiba mendorongku jatuh. Dan sebelum aku sempat berteriak, dia dengan
pemukul kastinya memukul tengkuk lehermu. Kejadian itu terjadi dalam waktu
sekejap, aku bahkan tidak sempat menghindar ketika dia membiusku.”
“Lalu
kita sekarang di mana?”
“Mungkin
saja kita di gudang Dre, entahlah tapi satu hal yang aku tahu kita masih berada
di rumah Doni,” katanya.
Wita
menunjuk ke arah timur. Dia hanya menunjuk, tidak memalingkan wajahnya ke arah
itu. Dia terlihat takut, bahkan tangannya gemetar.
Di
arah timur itu, seorang wanita dengan rambut panjangnya duduk dengan kepala
mendongak ke atas. Lalat-lalat
berterbangan menggerubunginya.
Aku
berjalan menuju wanita itu. Tanpa diragukan lagi, wanita itu sudah tidak
bernyawa. Tangannya menelungkup di bawah kakinya, ditutupi oleh gaun putih
tipis yang terciprat darah. Sungguh mengenaskan!
“Dia
bukan Reta Dre! Bukan Reta!” Wita yang mengikutiku, tiba-tiba saja berteriak,
kemudian dia menangis.
Jarakku sangat dekat
dengan mayat ini. Aku melihat wajahnya. Wajahnya penuh dengan lumuran darah,
mulutnya yang menganga dipenuhi belatung yang bergeliat-liat, dan meskipun
dalam kondisi seperti itu aku dapat mengenalinya. Tidak salah lagi, dia adalah
Reta. Mata Reta yang melotot dan putih memandang lantang ke arah langit-langit
ruangan ini.
“Ini Reta.” Aku berkata
dengan lirih.
Wita masih terbelabak
tidak percaya. Dia terus memukul pundakku, sambil berteriak. Sesekali dia
menghujat.
“Kamu bodoh Dre! Ini
bukan Reta!”
“Wita! Berhenti!” Aku pun
ikut berteriak.
Air mata mulai menetes di
pundakku. Pukulan yang diberikan Wita mulai melemah. Aku membalikkan badanku.
Wita berdiri dengan kaki bergetar, dia menyeka pipinya yang terus dialiri air
matanya. Aku merapatkan tubuhku padanya, tanganku melingkat di pinggangnya.
“Kita harus menerima
kenyataan. Reta sudah tiada.”
Tangis Wita semakin
pecah, dia berulang kali berontak. Di saat itu, aku merekatkan tubuhku, aku
memeluknya erat.
“Reta memang sudah tiada,
tapi dia masih hidup dalam hati kita. Dia akan dan pasti selalu menjadi nada
yang melengkapi harmoni musik kehidupan kita. Yang kita perlu lakukan hanya
satu hal, merelakan kepergiannya. Setiap orang akan menemui ajalnya, yang kita
tidak tahu hanya bagaimana caranya dan kapan tiba waktunya.”
Wita berusaha mengabaikan
kata-kataku. Tangisannya semakin pecah, dia berusaha melepaskan pelukanku
darinya.
“Aku tidak pernah
berharap hasilnya seperti ini. Ini semua salah aku, kalau saja aku tidak
membunuh Ibu Lidya di saat itu.”
“Kenapa Wit? Kau membunuh
Ibu Lidya?” Aku melepaskan pelukanku, menatap Wita yang masih tertunduk.
“Kok kamu diam? Jawab!”
Aku sedikit menggertak.
“Ini bukan tentang apa-apa.
Kamu tidak akan pernah mengerti.”
“Aku mengerti dan tahu
sejak awal kalau kamu menutupi sesuatu dariku. Tapi kenapa? Pantas saja Richard
memanggilmu pembunuh.”
Wita
mengangkat kepalanya setelah mendengar perkataanku. Dia menamparku tepat di
pipi kiri dengan tangan kanannya.
“Aku
bukan pembunuh. Kamu tahu apa soal aku?”
“Aku
memang sudah tidak tahu tentang kamu lagi. Tepatnya aku sudah tidak mengenal pembohong
seperti dirimu saat ini. Aku kenal Wita yang dulu, gadis berbakat dengan musik
indahnya.”
“Lalu?
Mengapa kamu menunggu jawaban dari wanita pembohong ini? Bodoh. Lelaki memang
bodoh. Mereka menilai wanita sesuka hati mereka.”
“Karena
aku masih percaya kamu Wit.”
“Kamu
sendiri yang tadi bilang aku pembohong, atau mungkin kamu mau aku bohongi lagi.
Mengapa? Mengapa kamu bodoh sekali? Andre yang aku kenal juga adalah anak
lelaki yang pintar, bukan seperti dirimu saat ini.”
Aku
diam seribu bahasa. Baru kali ini aku mendengar Wita berkata seperti itu. Apa
mungkin ucapanku barusan memang keterlaluan?
“Mengapa
kamu diam? Mungkin kamu memang sangat bodoh, hingga tidak mengerti kata-kata
manusia.”
“Aku
mungkin memang bodoh, tapi…”
“Tapi
mengapa? Hah!” Wita menggertak.
Sebelum
sempat dia meneruskan ucapannya, tanganku sudah menutup erat bibirnya. Aku
mencium keningnya.
Wita
berontak dan melepaskan bibirnya. Dia mundur beberapa langkah.
“Kau
gila!”
Aku
memandangnya dengan tampang lesuh. Ini pertama kalinya bagiku mencium
keningnya.
“Aku
memang gila dan bodoh. Aku menciummu, karena aku tidak ingin membiarkanmu terus
berteriak. Setiap teriakkanmu membuat aku semakin takut. Aku takut kamu akan
semakin marah.”
“Memangnya
kenapa kalau aku marah?”
Wita
memang masih berteriak, tapi teriakannya tidak sekencang sebelumnya. Raut
wajahnya perlahan meninggalkan amarahnya, dan kembali memperlihatkan
kesedihannya.
“Aku
memang keterlaluan menilai kamu. Maafkan aku! Aku memang salah. Aku tidak mau
kamu marah lagi. Karena aku mencintaimu, dan setiap kemarahanmu hanya membuat
hatiku hancur.”
Wita
menghempaskan wajahnya ke dadaku. Dia menangis dalam pelukanku.
“Aku
memang telah membunuh Ibu Lidya. Kejadian itu berlangsung sangat cepat, aku
bahkan tidak sadar aku telah membunuhnya. Percayalah aku akan cerita semua ini,
tapi setelah kita keluar dari sini.”
Aku
mengangguk. Aku mengusap air mata Wita di pipinya. Dia berusaha tersenyum. Mata
dia memandangku, kemudian dia memandang ke arah lain.
“DRE!!”
Wita kembali berteriak.
Di
saat itu, aku mendengar dengan samar-samar teriakan anak kecil bercampur dengan
teriakan Wita. Dan terdengar suara benda jatuh dan menghantam tanah dengan
keras. Apa mungkin itu Richard?
***
Sedikit
cahaya bulan terlihat dari celah langit-langit ruangan ini. Awalnya kesunyian
malam ini hanya diusik oleh kebisingan kami berdua.
“Wit,
kamu tidak apa-apa kan?”
Setelah
berteriak, Wita masih berdiri kaku di depanku. Tangannya perlahan diangkatnya,
dengan jari telunjuk yang bergetar dia menunjuk ke belakangku.
Aku
menengok ke belakang. Di belakangku masih tergeletak mayat Reta. Aku
memerhatikan mayat itu baik-baik, hingga aku menemukan sebuah keganjilan. Mayat
Reta tidak memiliki jari di tangan kanannya. Awalnya aku tidak menyadari karena
tangannya tertutup gaun putihnya.
“Reta
tidak punya jari Dre.”
Tangisan
Wita pecah kembali, tapi kali ini disertai rasa takut. Wita terhempas ke
lantai, kakinya mendadak lemas tidak mampu berdiri. Dia menundukkan wajahnya
sambil menangis ketakutan. Tangannya mengais debu-debu di lantai.
Aku
mendekat, melihat baik-baik tangan kanannya. Jari-jari ini terpotong dengan
bentuk tidak teratur, bukan seperti dipotong memakai pisau. Darah yang sudah
tidak keluar dari tangan ini sedikit membuatku heran, karena wajah Reta masih
dilumuri darah dengan kondisi masih segar.
Aku
berpindah ke tangan kiri. Tangan ini juga tidak memiliki jari sama sekali, tapi
ada satu hal yang berbeda. Aku menemukan sebuah sobekan kertas berusaha
digenggam oleh tangan ini. Aku tarik kertas itu. Melihat bentuk kertasnya, aku
teringat dengan kertas bertuliskan “SELAMATKAN RICHARD”. Mungkin saja jika
kertas ini digabungkan, mereka adalah suatu kesatuan utuh.
Tulisan
di kertas ini memang telah memudar, tapi lekukan goresan indahnya masih dapat
terlihat. Aku berusaha membaca tulisan
di kertas ini, mungkin saja ini petunjuk dari Reta.
Wita
sendiri masih duduk sambil menundukkan kepalanya. Dia terlihat ketakutan dengan
tubuhnya yang menggigil.
“Wit,
kamu tidak apa-apa?”
Wita
tidak menjawab. Aku meneruskan usahaku untuk membaca kertas ini.
“Requiem
sudah dimulai sejak awal, hanya nada sumbang yang mampu menghentikannya. Dan…”
Aku hanya bisa membaca sampai situ.
Sisa kalimatnya benar-benar sudah memudar, tidak dapat dibaca sama sekali
olehku.
“Wit,
kita harus keluar dari sini.”
Wita
mulai mengangkat kepalanya, memandang ke arahku. Aku khawatir dengan kondisi
saat ini. Melihat mayat saja sudah buruk bagiku, apalagi mayatnya dalam kondisi
seperti ini,dan ditambah Reta adalah sahabat Wita.
“Kita
harus memecahkan misteri ini Dre, demi Reta.”
Tangan
Wita mulai berhenti gemetar, dengan lembut dia hapus air matanya. Aku melihat
raut muka Wita sudah kembali menggambarkan amarah. Wita berdiri sambil
meringis. Dia berlari dan mengobrak-abrik barang-barang di gudang ini.
“Kamu
ngapain sih Wit?”
“Ini
gudang kan Dre? Aku yakin kalau ini gudang akan ada suatu perkakas yang bisa
kita gunakan untuk membuka pintu ini.”
Aku
mengangguk sambil tersenyum. Akhirnya aku tidak perlu khawatir lagi dengan
kondisi Wita saat ini. Dia terlihat lebih tangguh dari biasanya. Balas dendam
akan kematian Reta mungkin telah mengubah karakternya.
Dan
saat ini aku pun sibuk mencari perkakas. Memang benar ini gudang, aku menemukan
banyak perkakas di sini. Sayangnya aku tidak menemukan satupun yang berguna
untuk membuka pintu ini.
Aku
masih sibuk mencari, hingga terdengar suara dentuman. Aku menoleh ke belakang.
Di
sana ada Wita, dengan linggis yang besar. Dia terus memukul kusen pintu dengan
linggis ini. Berkali-kali dia berteriak menghujat Doni. Pukulan linggisnya pun
terlihat sangat kuat, kekuatan wanita memang tidak bisa diduga.
***
“Reta
kita akan bertemu lagi.”
Setelah
mengucapkan kata perpisahan, Wita menaruh kain bekas di atas mayat Reta, dan
membaringkannya. Pintu gudang telah terbuka beberapa menit yang lalu, tentunya
berkat kegarangan seorang Wita. Aku memperhatikan situasi di luar gudang ini.
Rumput-rumput terlihat sudah meninggi, dan di depanku terlihat sebuah rumah.
Jarak antara tempat aku berdiri saat ini dengan sebuah rumah hanya sekitar
sepuluh meter. Ya itu adalah rumah Doni, dan aku yakin gudang ini berada di
belakang rumah ini.
Aku
dan Wita saat ini berjalan menelusuri rumput-rumput ini. Sesekali kakiku
tergigit oleh serangga. Aku melihat ke arah Wita, dia sudah benar-benar kuat
saat ini.
“Kamu
kenapa Dre?”
Wita
menarik tanganku agar bisa bangun. Ya baru saja aku jatuh tersungkur karena
tersandung sesuatu.
“Aku
tersandung benda ini.” Aku meringis, lututku terluka.
Sebuah
benda tipis dengan layarnya yang telah remuk tergeletak di tanah dan tertutup
lebatnya rerumputan. Benda ini lah yang membuat aku tersandung, tepatnya benda
ini adalah laptop. Aku menyadari suara dentuman sebelumnya berasal dari benda
ini. Aku sedikit lega, karena awalnya aku mengira benda yang jatuh itu adalah
Richard.
“Dre,
itu ada benda berwarna mengilat lainnya.”
Aku
melihat ke arah yang ditunjuk Wita. Aku dapat melihat sebuah benda kecil dengan
warna perak mengilat. Benda kecil dengan lubang-lubang kecil yang biasa
digenggam anak itu. Ini adalah harmonika Richard.
“Lantai
atas adalah kamar Richard.”
Wita
memegang pundakku, sambil menunjuk ke atas kepalaku.
“Jadi
itu jatuh dari sana?”
“Mungkin
Dre, tapi satu hal yang aku ketahui pasti. Kita harus segera ke atas,
memastikan kondisi Richard baik-baik saja. Dan membalas dendam pada Doni.”
Aku
mengangguk.
Senyap.
Suasana
dalam rumah Doni begitu senyap. Kami telah berhasil masuk, pintu belakang rumah
tidak dikunci sama sekali. Kami terus berjalan menuju tangga.
“Kamu
lelah?”
“Tidak
apa-apa Dre, lanjut saja.”
Jujur
aku kembali khawatir dengan kondisi Wita. Dia terlihat lelah, dan tubuhnya pun
mulai terlihat lemas.
Lantai
dua sudah kami injak. Hanya suara petir yang menyambut kedatangan kami, lantai
dua sama sepinya dengan lantai satu. Ke mana gerangan para penghuni rumah?
“Aku
ke kamar Pak Dion, kamu ke kamar Richard ya Dre.”
Aku
mengangguk setuju. Richard yang menganggap Wita sebagai pembunuh ibunya, tidak
akan menerima Wita begitu saja. Lebih baik aku mengecek kondisi Richard
terlebih dahulu.
Aku
mengetuk pintu kamar Richard. Melihat kamar ini, aku mengingat tangisan Richard
ketika malam itu. Malam di mana aku untuk terakhir kalinya melihat Reta.
“Richard!”
Tidak
ada jawaban meskipun aku telah memanggil dan mengetuk pintu kamar ini
berkali-kali.
“Richard
pasti ada di dalam Dre.” Wita berbisik di telingaku.
“Pak
Dion tidak ada?”
Wita
menggeleng. Petir yang semakin keras menyambar mulai disertai bunyi tetesan
hujan yang berjatuhan di atap rumah.
“Dobrak
saja Dre.”
Aku
akhirnya mengikuti saran Wita. Kami khawatir dengan kondisi Richard saat ini,
mungkin saja dia tidak menjawab karena pingsan.
Dan
setelah mendobrak pintu ini, aku dapat melihat dengan jelas seorang anak kecil.
Anak kecil dengan kaus oblong putihnya, bahkan warna putihnya sudah tertutup
oleh merah darah. Dia meringis sambil sesungukkan. Dengan duduk di pojok
ruangan, dia menundukkan kepalanya. Tangan kirinya mengenggam erat
lutut-lututnya sedangkan tangan kanannya hanya menelungkup di lantai.
Luka-lukanya masih dapat aku lihat dengan jelas, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.
Richard
mengangkat kepalanya. Melihat aku dan Wita, dia menatap tajam ke arah kami.
Wita mulai merasa cemas.
“Pembunuh!
Pergi!” Richard berusaha berdiri walau kakinya penuh dengan luka.
“Kita
pergi dulu dari sini ya. Nanti aku pastikan Kak Wita bakal menjelaskan semuanya
ke kamu.”
“Tidak!
Pergi!” Richard meracau.
Wita
berjalan perlahan mendekatinya. Dia bersimpu, lalu memeluk Richard erat.
“Percayalah
pada aku dan Kak Andre. Seperti kamu mempercayai musik.”
Tatapan
Richard mulai meluluh. Tetesan air mata jatuh di pundak Wita, Richard menangis.
Aku
menghampiri mereka berdua, sambil memberikan pakaian ganti untuk Richard.
Selain dipenuhi luka, tangan Richard terlihat membiru kedinginan.
“Kita
pergi dari sini ya, kamu mau kan ikut kakak?”
Richard
mengangguk lemah.
Harmonika
yang aku simpan di kantungku sudah berpindah tempat ke kantungnya. Dia terlihat
senang melihat harmonikanya kembali.
“Kak
Doni ke mana?” Wita bertanya dengan lembut.
Aku
seperti melihat sosok ibu dan anak ketika melihat Wita mengelus rambut Richard.
“Aku
tidak tahu kak. Setelah memukul Kak Andre dan Wita, dia mengurungku di sini.”
“Loh,
kalau kamu sendirian di sini. Siapa yang melempar harmonika dan laptop itu?”
“Itu
ibu kak, dia marah kepadaku.”
Aku
ingin bertanya lebih banyak tentang ucapan Richard barusan. Sayang wajahnya
terlihat sangat lelah, aku memutuskan untuk membawa Richard ke dalam mobil.
Wita sendiri masih mau berada di kamar Richard untuk mencari petunjuk.
Aku
berjalan perlahan menelusuri anak tangga. Richard mengikutiku dari belakang.
Dan ketika kami tiba di lantai satu, suara petir sangat kencang terasa
menyambar bumi. Seketika listrik padam, aku tidak dapat melihat apapun.
Di
tengah kegelapan itu aku berusaha mencari Richard. Dan saat aku meraba, aku memegang
tangan seorang wanita. Aku yakin itu tangan wanita karena tangannya sangat
halus. Tapi bukankah Wita masih di atas?
“Kak
Andre di mana? Aku sedang bersama Kak Wita.”
Aku
terkejut. Perasaan takut mulai menggerogoti keberanianku. Ketakutanku semakin
menjadi-jadi ketika seseorang berteriak.
“Andre!
Richard! Kalian di mana?”
Suara
lembut Wita tidak sedikitpun membuatku takut. Tapi hal yang kutakuti adalah
pertanyaan dia. Jika dia bertanya aku dan Richard di mana, Wita berarti
bukanlah sosok yang bersama aku dan Richard. Jadi tangan halus ini, milik
siapa?
Komentar
Posting Komentar