Requiem Richard



Chapter 2 : Reta Menghilang

“Sekali lagi maaf ya Don.”
            “Iya.”
            Aku dapat mendengar helaan nafas kekecewaan ketika Doni menutup teleponnya. Tidak. Aku tidak ada masalah dengan Doni, aku hanya sedang tidak sehat. Dan itulah permasalahannya, malam ini adalah malam selasa, berarti waktunya aku memainkan Requiem di rumah Doni. Jangankan untuk memainkan Requiem, untuk bangun dari tempat tidurku pun rasanya sulit.
            Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam, aku teringat suasana seminggu lalu. Di mana aku sendirian memainkan Requiem, dan suasana mencekam menghampiri. Sudahlah, membayangkan kejadian itu hanya memperburuk keadaan aku saja. Aku berusaha memejamkan mata, suasana kamarku begitu sunyi, bahkan jarum jam terasa berdentum. Dan di saat aku membuka mata perlahan, cahaya putih terlihat jelas di pupil mata ini. Dan di balik cahaya putih itu, terlihat seorang wanita dengan muka kusam. Sherlock holmes versi wanita! Maksudku, dia adalah Reta!
            “Ada apa Reta?” Aku bertanya dengan santun, tidak seperti biasanya, kharisma Reta saat ini benar-benar membuat hatiku tenang.
            Reta tidak menjawab sedikitpun, matanya mulai memerah, terlihat bulir-bulir air mata sudah tidak sanggup dibendung pelipis matanya. Dia menangis, tangannya berusaha mengais-ngais, memintaku untuk menghampiri. Tubuhku kaku, aku tidak dapat bergerak, aku hanya bisa terbaring saat itu. Reta terus menangis, dia menunjuk ke arah kertas yang entah sejak kapan aku pegang. Iya, kertas yang bertuliskan ‘SELAMATKAN RICHARD’secara  terus-menerus ditunjuk Reta. Hanya hal itu yang aku ingat, hingga akhirnya aku terjaga.
            Waktu baru menunjukkan setengah sebelas malam, baru tiga puluh menit aku tidur, tapi mimpi itu terasa sangat nyata. Aku lihat telepon genggamku, sebuah pesan singkat dari Wita baru saja masuk ke telepon genggamku. Aku baca dengan sekilas pesan singkat itu, dahiku mengerut. Setelah membaca pesan itu, aku melanjutkan tidurku, karena besok akan menjadi hari yang melelahkan.
***
Waktu sudah menunjukkan jam sepuluh pagi, Wita tak kunjung datang. Pesan singkat yang telah aku baca kemarin malam adalah ajakan untuk bertemu di sebuah kafe. Kafe tempat aku biasa berbincang dengan banyak teman, banyak kenangan indah di kafe ini. Aku perhatikan baik-baik kafe ini, detailnya masih sama saat aku masih menjadi siswa SMA dulu. Sungguh masa yang menyenangkan di kala itu, di kala aku bisa duduk santai sambil memerhatikan batu bata yang tersusun dengan artistik.
Minuman yang aku pesan telah habis setengah. Menunggu Wita selama lebih dari 30 menit sungguh membuat aku bosan, berulang kali aku berusaha menelepon, tiada jawaban. Musik klasik menemani kesendirianku saat itu, ah, tentu para musikus sangat senang di kafe ini, pemiliknya benar-benar memiliki selera musik.
Bunyi lonceng pun terdengar dari pintu, yang menandakan seseorang masuk ke dalam kafe ini. Iya, akhirnya dia datang. Wanita manis dengan topi merah jambunya, memakai rok dengan lipatan yang rapi. Kemeja bunga yang dia kenakan pun serasi dengan flat shoes berpita yang ia pakai.
“Dre, udah lama?” Wanita itu menyapaku dengan senyum, ya, dia adalah si pengirim pesan singkat kemarin malam, maksudku dia adalah Wita.
Aku menggeleng pelan, kejenuhanku hilang seketika melihat senyumannya.
            “Jadi mau ngomongin apa?”
            Aku membuka perbincangan, sesaat setelah Wita memesan minuman. Wita mulai memalingkan wajahnya ke arahku, menatapku dengan lekat.
            “Aku mau jujur sama kamu Dre.”
            Aku menggigit bibirku. Apakah mungkin Wita akan menyatakan perasaannya saat ini? Tetapi jika benar, malu sekali diriku jika wanita yang menembak diriku  terlebih dahulu.
            “Aku ke toilet bentar ya.”
            Alasan terbaik kembali aku lontarkan saat itu, aku harus mempersiapkan diriku terlebih dahulu. Atau aku seharusnya menyiapkan kejutan dengan menembak Wita terlebih dahulu. Baiklah, hal ini akan aku pikirkan di dalam toilet.
            “Tapi, Dre...”
            Sebelum selesai Wita berbicara, aku sudah meninggalkan kursiku. Aku berjalan dengan sigap ke arah toilet. Di dalam toilet aku terus memikirkan cara terbaik untuk memperlihatkan sisi keromantisanku. Pikiranku telah mengawang-awang, hingga aku tidak menyadari di sebelahku, di depan wastafel, telah berdiri seorang wanita. Aku sedikit gemetar, aku hanya melihat dia dari pantulan cermin di depanku, aku takut untuk memalingkan wajah ke arahnya. Sesaat setelah dia mengangkat wajah yang dia tundukkan daritadi, aku dapat melihat wajah kusamnya, RETA!
            Di sampingku Reta menatap cermin dengan tatapan kosong, tetapi mengapa? Mengapa dia ada di sini? Aku masih memandanginya dari cermin, dan saat aku memalingkan wajahku ke arahnya. Dia menghilang. Mungkin aku hanya berkhayal karena sering bermimpi tentang Reta.
            “Sudah selesai Wit.”
            Wita tersenyum, matanya kembali menatapku lekat-lekat. Alunan musik klasik menambah suasana romantis saat itu.
            “Aku sebenarnya…”
            Terlihat tubuh Wita gemetar, mungkin dia gugup untuk menyatakan perasaannya.
            “Tidak apa-apa kok, bilang saja.”
            Aku berusaha meyakinkan Wita bahwa aku sudah siap.
            “Aku sebenarnya kenal dengan Reta. Dia sahabatku, aku yang memperkenalkan dia dengan Doni.”
            Bagai disambar petir di siang bolong, aku tercengang mendengar pernyataan Wita, bukan hanya tidak sesuai keinginanku, tetapi mengapa? Mengapa Wita tidak pernah berkata jujur sebelumnya?
            “Aku tahu kamu pasti kaget mendengar cerita ini. Tapi ada hal yang lebih penting, Reta tidak mengangkat teleponku sejak seminggu yang lalu. Kamu tahu tidak dia ke mana?”
            Seminggu yang lalu? Aku masih bisa mengingat perbincanganku dengan Reta seminggu yang lalu, dia masih sehat-sehat saja kala itu. Tapi itu sebelum aku memainkan Requiem, bahkan setelah aku selesai memainkan Requiem, aku tidak melihat dirinya sama sekali.
            “Seminggu yang lalu aku memang bertemu dia, tapi itu sebelum keanehan itu terjadi.”
            “Keanehan apa Dre?”
            Wita berusaha bertanya dengan serius, walau dia sedang asik menikmati susu cokelatnya. Aku menjelaskan tentang kejadian di kala itu, tentang tangan dari peti yang dingin, dan tangan Doni yang berdarah.
            “Dan satu hal yang harus kamu tahu Dre, Reta selalu diam jika aku tanya tentang Doni. Padahal…” Wita menghentikan mulutnya untuk berbicara, beberapa menit kemudian dia kembali berbicara tetapi dengan nada yang berbeda.
            “Reta selalu bilang ‘Dia memperhatikan kita’. Satu hal yang membuat aku penasaran dengan kondisi ia saat ini adalah tentang mimpiku. Dalam mimpiku dia mendatangiku dengan baju putih dan wajah kusamnya, kemudian memperlihatkan tulisan yang tertulis dengan darah, dengan kata ‘SELAMATKAN RICHARD’.”
            Aku kembali tercengang. Kata-kata itu jelas sekali aku masih mengingatnya, itu kata-kata yang aku temukan di saku celanaku minggu lalu. Mungkinkah? Mungkinkah Reta yang dengan sengaja merogoh saku celanaku saat itu untuk memberikan tulisan itu. Tetapi buat apa?
            “Lalu kenapa harus Richard? Dia bahkan baru tinggal di rumah Doni seminggu yang lalu.”
            “Richard adiknya Doni Dre, mungkin saja hal ini bersangkutan.”
            “Richard adiknya Doni? Doni sendiri yang bilang Richard itu sepupunya.”
            “Ada yang tidak beres Dre, dan aku yakin ini ada sangkut pautnya dengan Reta Dre.”
            Aku mengangguk perlahan, minumanku telah habis kuminum sejak awal perbincangan. Sedikit kembung rasanya, tapi aku berusaha bangkit dari tempat dudukku dan meninggalkan kafe ini bersama Wita.
***
            Aku mengendarai kendaraanku dengan hati-hati, sambil berdiskusi tentang langkah selanjutnya yang akan kami ambil. Kami akhirnya memutuskan untuk bertanya soal Reta kepada Doni. Tapi bagaimana jika dia tidak memberikan jawaban yang benar? Itulah yang sedang kami diskusikan.
            “Don, Reta ada tidak? Telepon aku kok ga diangkat sama dia?”
            “Ga ada Dre, dia sudah pulang kampung sejak seminggu yang lalu. Kalo soal telepon, aku juga susah menghubungi dia. Emang kenapa bertanya soal dia?”
            “Ah, kebetulan aku sedang membutuhkan bantuan wanita untuk model tugas kuliahku. Tadinya aku pikir mau dia saja, tapi sudahlah.”
            Setelah sedikit berbasa-basi, aku menutup telepon. Aku memandang Wita perlahan, memperlihatkan kecurigaanku terhadap jawaban Doni. Wita menghela nafas, dan akhirnya kami mulai mengatur suatu rencana.
            Jika Doni tidak mau berbicara jujur, Richard pasti mau. Ya, rencana kami adalah memisahkan Richard dengan Doni, agar Richard bisa berkata jujur tentang keberadaan Reta, dan sekaligus memecahkan misteri tulisan ‘SELAMATKAN RICHARD’ ini.
***
            Sekarang adalah hari minggu dan aku telah sampai di depan gerbang rumah Doni. Doni telah pergi bersama Wita, rencana telah dimulai dengan lancar. Dan di perkarangan rumah Doni terlihat jelas olehku anak kecil sedang mengusap harmonikanya dengan sapu tangan biru laut.
            “Richard ngapain? Kak Doni ke mana?”
            “Kak Doni pergi kak, tapi aku tidak tahu ke mana. Sejak tadi pagi aku bangun sudah tidak ada orang.”
            “Loh Richard sendirian?”
            “Tidak kak, ada Ibu.” Richard tiba-tiba saja diam, memandang ke arah lantai 2, ke arah sebuah kamar dengan jendela lebar.
            “Ibu?”
            Richard tidak memberikan jawaban sedikitpun, matanya mulai terlihat memerah. Mungkinkah dia kangen dengan ibunya?
            “Ikut kakak yuk, kita main ke taman hiburan dekat sini.”
            Richard mengangguk pelan, sekali-kali dia menoleh ke arah belakang. Aku yang sudah memegang setir, secara sekelebatan melihat sosok wanita hitam di kamar yang tadi Richard lihat. Mungkin hanya halusinasi aku saja, mungkin.
            Mobil aku kendarai dengan lambat, sengaja untuk bisa berbincang dengan Richard. Tapi, jangankan untuk berbincang, anak kecil ini tidur sepanjang perjalanan dengan senyumnya, penuh kelelahan terlihat di wajahnya.
            “Kita sudah sampai.”
            Aku berusaha membangunkan anak ini ketika mobil sudah aku parkir di salah satu sudut taman hiburan. Perlahan dia mulai membuka matanya, sesekali dia meringis sebelum akhirnya terjaga.
            “Jadi main kan?”
            Richard hanya mengangguk, sambil perlahan keluar dari mobilku.
            Suasana taman hiburan ini sangatlah ramai, banyak anak tertawa bahagia menikmati berbagai wahana di sini, kecuali Richard. Dia hanya memperhatikan keceriaan anak-anak itu dengan tatapan datar, berulang kali aku mengajaknya untuk memainkan suatu wahana, dia menolak. Dan hingga akhirnya kami tiba di sebuah rumah hantu. Rumah hantu ini di desain begitu menyeramkan, dengan ornamen-ornamen khas film horor Jepang di sekitar pintu masuknya. Jangankan masuk, membayangkan isinya saja sudah mengerikan bagi banyak orang.
            “Kak Andre masuk ke wahana ini yuk.”
            Akhirnya Richard berbicara juga, sejak turun dari mobil ia hanya memberikan anggukan dan gelengan.
            “Yakin mau masuk wahana ini? Tidak takut?”
            Kecemasan mulai timbul dalam diriku, wahana yang ia maksudkan adalah rumah hantu. Ya, rumah hantu dengan ornamen-ornamen khas film horor jepang tersebut. Aku sebenarnya takut, tapi mengakui ketakutanku di depan anak kecil adalah perbuatan konyol.
            Di dalam rumah hantu aku berulang kali menahan diri agar tidak terlihat takut. Richard melangkah dengan santai di rumah hantu ini, dan menurutku untuk anak berusia sembilan tahun ini tidaklah wajar. Akhirnya aku dan Richard tiba di suatu ruangan, mungkin ruangan kelima dari awal aku memasuki rumah hantu ini. Di ruangan itu hanya ada sebuah piano klasik, dan tiba-tiba Richard lari, sambil menjerit. Aku memang melihat ada sosok wanita yang memakai kain hitam, tapi bukankah setan yang sebelumnya lebih seram? Aku berlari mengejar dia, dan aku rasa sosok wanita itu ikut mengejar kami.
            Richard terus meraung, gerakan kakinya semakin lincah. Dia berulang kali menggertakkan bibirnya. Aku yang sudah berada di sampingnya, berusaha menenangkannya. Dia masih ketakutan, wajahnya memucat. Sesaat setelah cahaya terlihat, Richard memelukku erat. Dia mencengkeram sangat kuat, aku menggendongnya ke arah dekat pepohonan, menjauh dari rumah hantu tersebut.
            Aku memberikannya sebotol air mineral, kemudian dia meneguknya dengan perlahan.
            “Kamu kenapa?”
            Aku biarkan dia mengatur nafasnya terlebih dahulu. Aku semakin tidak mengerti anak ini, sebenarnya apa yang membuat dia harus diselamatkan?
            “Kak Reta ke mana?”
            Aku menimpali pertanyaanku dengan pertanyaan lain karena Richard tidak juga menjawab. Richard malah menundukkan wajahnya, tetesan air mata turun dari matanya. Dia berjalan masuk ke dalam mobil, kemudian menutup wajahnya dengan jaket biru yang sudah terlihat memudar.
            Aku tidak tahu harus berbuat apa. Matahari sebentar lagi terbenam, dan Doni sebentar lagi akan pulang. Jika aku tidak membawa Richard pulang, entah apa yang akan Doni lakukan. Aku mulai yakin ada sesuatu yang ganjil, atau mungkin jahat dalam diri Doni.
            Sepanjang perjalanan, Richard hanya memperhatikan harmonikanya. Dia tidak peduli dengan berbagai pertanyaan dan leluconku. Langit yang mulai mendung pun tidak dapat menyita perhatiannya.
            Aku telah sampai di rumah Doni, langit telah semakin gelap. Bulan Desember ini memang selalu terjadi hujan, paling hanya sekali atau dua kali dalam seminggu Sang Surya menampakkan dirinya.
            “Kak Andre tunggu di sini.” Richard membuka pintu mobil, kakinya berjalan dengan cepat masuk ke perkarangan rumahnya, dan akhirnya ujung kakinya sudah tidak terlihat.
            Sepuluh menit telah berlalu, aku masih menunggu di dalam mobilku. Aku berharap Doni belum pulang, Wita sendiri tidak dapat kuhubungi. Wanita itu memang ceroboh, dia pasti lupa mengisi penuh daya baterai handphone-nya.
            Pintu rumah Doni akhirnya terbuka, masih sepi ternyata di dalam rumah itu. Aku yang sudah berdiri di depan pintu rumah menengok sekilas suasana dalam rumah.
            “Kak Doni belum pulang?”
Richard menggeleng, tangan kirinya seperti menahan sesuatu dalam jaketnya.
            Aku berdiri terpaku di depan rumah memikirkan rencana selanjutnya. Richard mengeluarkan sebuah buku dari balik jaketnya dan memberikannya padaku.
            “Ibu memperhatikan kita, kakak orang baik tolong jangan pernah datang lagi. Aku tidak mau kakak…” Richard tidak jadi melanjutkan kata-katanya.
            Sebelum aku memaksanya bercerita yang sebenarnya, pintu rumah telah ditutupnya, dengan sedikit hentakan ketika menutupnya. Aku berusaha membuka dan mengetuk berkali-kali, tiada respon apapun darinya. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang.
Beberapa langkah setelah aku meninggalkan pintu dengan ukiran dari jepara itu, terdengar suara harmonika. Suara harmonika yang sangat indah, penuh sayatan cerita kesedihan di dalam setiap nadanya, yang tidak salah lagi dimainkan oleh anak itu. Kelopak mata aku terasa memanas, kesedihan yang diberikannya dalam nada itu mampu membangkitkan emosi jiwaku.
            Aku lihat buku yang Richard berikan. Buku dengan sampul cokelat, dengan beberapa coretan notasi balok di sampulnya. Buku yang memiliki tulisan dengan huruf mulai pudar tapi masih bisa dibaca. Buku yang tertuliskan nama Lidya Pratiwi dengan tinta cokelat yang berbaris miring di kiri bawah sampul. Lidya Pratiwi, ya dia adalah ibu Doni dan Richard, yang meninggal beberapa minggu yang lalu.

Komentar

Postingan Populer