Requiem Richard



Chapter 3 : Lidya Pratiwi

“Larut dalam kesedihanku, tak tahu ingin berbicara kepada siapa, aku menuangkan kekacauan pikiranku dalam buku ini. Aku berusaha menganggapnya teman, ya teman yang mampu mengerti permasalahanku. Permasalahanku sangatlah rumit, suamiku Dion mengalami depresi berat karena perusahaannya bangkrut, dan imbasnya dia jadi suka menyiksa Doni. Misalnya sore ini, ketika aku pulang sehabis mencari nafkah, aku mendapati Doni dengan tubuh penuh luka, luka bekas cambukkan.”
Di bawah lampu kamar yang sedikit redup, aku membaca buku pemberian Richard. Sesekali aku teguk sedikit air putih. Waktu telah menunjukkan pukul enam sore, satu jam aku telah meninggalkan rumah Doni. Aku masih dapat mendengar suara harmonika itu dalam telingaku.
Berbulan-bulan telah berlalu, siksaan yang diterima Doni semakin parah, berkali-kali kudapati dia pingsan. Aku sempat marah dan minta untuk cerai, tapi Doni mengancam untuk membawa Doni jika kami bercerai. Ya, rasa takut menyelimutiku saat itu, dan aku mulai menjalankan sebuah rencana. Diam-diam aku menyisihkan sedikit gajiku untuk ditabung. Aku berharap dapat memindahkan Doni ke asrama. Sementara itu Dion, suamiku malah sibuk bermain judi.”
Aku memperhatikan kata demi kata, berusaha menemukan maksud tersembunyi dalam kalimat tersebut. Mungkin saja, Richard memberikan ini untuk menjawab pertanyaanku tentang Reta.
Teringat tentang luka Doni, aku mengingat luka yang aku lihat di tubuh Doni seminggu yang lalu. Mungkinkah itu luka sejak Doni kecil? Jika memang benar masih berbekas, mungkin memang Doni disiksa di luar batas kemanusiaan.
Ya, walaupun sesekali aku merasa beberapa halaman hanya lanjutan dari cerita-cerita penyiksaan Doni. Tidak pernah aku sangka, Pak Dion yang matanya berkaca-kaca itu mampu sekeji ini.
Doni akhirnya lulus dari SMP, perasaan senang dan sedih berkecamuk di hatiku. Pada akhirnya Doni akan melanjutkan SMA-nya di asrama sekolah luar negeri. Tapi apa boleh buat, ini semua demi kebaikan Doni.”
Buku dengan warna kertas yang sudah menguning ini sangatlah mudah sobek, aku berusaha membalik halamannya dengan hati-hati.  Sesekali, aku mengalihkan perhatianku dari buku ini dengan memainkan telepon genggamku. Belum ada kabar dari Wita. Mungkinkah dia belum pulang?
“Seminggu telah berlalu sejak kepergian Doni, kini aku lihat Dion terlihat murung. Rasa kesepian dan penyesalan sepertinya telah menghampiri dirinya. Kondisi aku pun saat itu memburuk. Berulang kali aku muntah, hingga akhirnya aku dirawat di rumah sakit. Dan di sana, dokter memberikan kabar bahagia, aku hamil anak kedua.”
            AC kamar aku kecilkan, dingin sekali malam ini. Rumahku masih sepi, ibu dan ayahku pergi ke acara pernikahan tetangga dan belum pulang. Sesekali aku merasakan tiupan angin dari belakang leherku. Aku melanjutkan membaca buku ini.
“Akhirnya anak kedua aku lahir, dia kuberi nama Richard. Aku berharap dia akan menjadi anak yang tangguh. Kabar bahagia bagiku, Dion sangat menyayangi Richard. Mungkin dia telah menyesal menyiksa Doni dulu.”
            Setelah halaman itu, sisa curahan hati dalam buku ini adalah kebahagiaan Lidya Pratiwi dengan Pak Dion dan Richard. Aku akhirnya percaya Richard adalah adik Doni, walau sedikit ragu mendengar pernyataan Wita. Tetapi mengapa Doni menutupi kebenaran tentang adiknya?
            Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidurku. Hujan masih deras di luar rumah, aku menarik selimut untuk menutupi kakiku hingga batas pinggang. Beberapa halaman di buku ini aku hanya lihat sekilas, aku berusaha mencari poin penting tentang Richard atau Doni.
“Delapan tahun aku tidak bertemu dengan Doni, jarang sekali ia memberi kabar. Bahkan dia tidak pernah menelepon, hanya sebuah e-mail setiap bulannya. Dan akhirnya kangenku terobati, Doni pulang. Aku bayangkan pelukan kangennya saat bertemu kami, ternyata tidak, dia cuek, bahkan seperti kami ini bukan keluarganya.”
            Petir menyambar dengan kencang, aku sempat terhentak. Setelah detak jantungku kembali normal, aku melanjutkan membaca buku ini. Buku aku taruh menutupi wajahku, aku hanya ingin fokus membaca buku ini.
“Seminggu telah berlalu sejak Doni bertemu kami kembali. Malam ini, kudapati anak keduaku Richard pingsan. Dan saat aku periksa kondisi tubuhnya, aku mendapati tubuh anakku penuh dengan luka darah, mungkin bekas cambukkan. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya, tapi suamiku sedang pergi ke luar kota selama 2 hari, mungkinkah ini perbuatan Doni?”
“Setelah menunggu waktu yang tepat, dua hari setelah aku menemukan Richard pingsan. Aku akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada anakku Doni, tentu setelah Dion dan Richard terlelap. Aku mengintip kamar Doni untuk melihat keadaannya, sebelum aku bertanya tentang Richard kepadanya. Dan dari kamar Doni, aku melihat sosok hitam berdiri di sampingnya.”
            Aku membalik halaman selanjutnya, kosong. Lembaran cerita ini ditulis sehari sebelum Ibu Lidya meninggal. Apa mungkin ini semua disebabkan Doni?
            Aku menutup buku, dan memalingkan wajah ke kanan.
            Tepat di depan mukaku, aku melihat sosok hitam berdiri dengan angkuhnya. Aku terkejut dan ketakutan, aliran darahku menjolak, aku berusaha menutupi wajahku dengan selimut.
            Sosok hitam itu benar-benar menakutkan, meskipun hanya sekilas aku dapat melihat kekejian di dalamnya. Waktu seolah berhenti, aku bahkan takut untuk membuka mata kembali, hingga akhirnya aku terlelap.
***
            “Jadi Doni yang ada di balik semua ini?”
            “Mungkin Wit. Ini baru dugaanku sementara.” Aku meminum secangkir teh yang diberikan Wita.
            Rumah Wita memang terkesan sejuk dengan balutan warna biru lautnya, minum teh di sini adalah kebahagiaan tersendiri bagiku. Wita sendiri memakai kaus berwarna hijau dengan rambut yang terurai, ah terkadang aku memang harus mengakui kecantikannya.
            Wita sendiri meneleponku tadi pagi, dan itu alasan aku sudah tiba di rumah Wita sepagi ini. Jam tujuh pagi tepatnya, aku sudah rapi dengan kaus putih dan celana panjangku.
            “Jadi buku ini yang diberikan Richard? Hanya informasi ini yang bisa kamu dapat Dre?”
            Aku mengangguk, telah lewat dua belas jam dari saat aku melihat sosok hitam di sebelahku. Aku belum bisa memastikan itu apa, dan karena itu aku belum mau bercerita tentang hal ini kepada Reta.
            “Dre, kamu percaya tentang hantu?”
            “Sedikit, memangnya kenapa?”
            “Sosok hitam yang aku baca pada halaman terakhir ini, sejujurnya aku pernah melihatnya. Lebih tepatnya aku sering melihatnya.”
            “Di mana?”
            “Aku pernah merasakan dan melihat sosok hitam itu, saat itu dia mau mencekikku. Aku berteriak, dan seketika ia lenyap”
            Buku usang itu telah ditutup Reta. Saat ini matanya lebih fokus ke arahku, mungkin dia ingin memastikan apakah aku mempercayainya atau tidak.
            “Aku juga sebenarnya tadi malam melihat sosok hitam…”
            Entah mengapa, pembicaraan terhenti saat itu, bibirku terasa kaku, aku tidak dapat membukanya dengan leluasa. Aku dapat mendengar suara tangisan Richard saat itu, dan nada Requiem mengalir dan menyatu bersama tangisan itu.
            “Kamu tidak apa-apa?”
            Suara halus Wita mengusik pendengaranku, dan saat itu aku tersadar dari lamunanku.
            “Aku tidak  apa-apa, kamu memangnya tidak mendengar?”
            “Mendengar apa Dre?”
            “Bukan apa-apa Wit.”
            “Jadi apa langkah kita selanjutnya untuk mencari tahu kondisi Reta?”
            Aku membisu, tidak dapat memberikan solusi sedikitpun, terjebak dalam kebuntuan. Diskusi yang kami lakukan pun berlangsung alot, tanpa ada titik terang tentang misteri ini.
            “Kamu ingat Elsa?”
            “Tentu saja.”
            Elsa, seorang anak indigo yang satu kampus dengan aku. Wita pernah memperkenalkan dia kepadaku, itupun karena aku membutuhkan bantuan dia. Biasa memakai kalung besar, dengan sesekali memakai kacamata hitam yang besar dengan rongga kosong di isinya, maksudku tidak memakai lensa. Tampilannya memang modis, tapi karena banyak yang menganggap dia ‘berbeda’ banyak yang menjauhi dia.
            Aku pernah melihat Elsa bicara sendirian, dan saat ditanya dia hanya tersipu malu. Sesekali bahkan dia pernah bercerita tentang berkomunikasi dengan ‘mereka’. Elsa adalah pemain musik handal, sama seperti kami.
            “Dre, sudah mengerti kan maksudku?”
            “Misteri ini akan kita pecahkan.”
            Wita mengangguk, matanya memancarkan kebahagiaan, mungkin dia merasakan semangat sama sepertiku. Atau mungkin matanya hanya membuat kepalsuan tentang keadaan hatinya saat ini.
            Waktu telah menunjukkan jam sembilan pagi, kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Di sela-sela makan siang itu aku membaca kembali buku Lidya Pratiwi, ada yang aneh, sebuah halaman dirobek dari buku ini. Aku bahkan tidak melihatnya saat membacanya pertama kali, apa mungkin Wita yang merobeknya? Ah sudahlah mungkin tidak sengaja robek ketika aku tidur kemarin.
***
            Matahari sudah terasa terik, dan kami baru saja tiba di kediaman Elsa. Tidak ada kesibukan terlihat di rumah ini, maksudku tidak terlihat aktivitas manusia di rumah ini. Rumah dengan cat biru muda ini begitu sepi. Sudah lima belas menit aku menunggu, dan hampir pula aku mengajak Wita pulang. Sebelum kakiku beranjak dari gerbang, seorang gadis cantik dengan kacamata merah mudanya tersenyum ke arah Wita.
            “Sudah lama kak?” katanya. Tangannya sibuk mengotak-atik kunci gerbang, dengan sesekali membenarkan kacamatanya.
            “Iya Bunga, kok lama sekali buka pintunya?”
            “Maaf kak, tadi aku mandi soalnya.”
            Gadis mungil dengan usia sekitar 12 tahun ini mempersilahkan kami masuk. Sesekali dihempaskan rambut panjangnya yang terurai, dari situ percikan bulir-bulir air jatuh berhamburan ke tanah.
            “Diminum dulu kak!”
            Bunga menyuguhkan kami dengan air jeruk yang dia bawa dari dapur. Dengan memakai bandana biru, dia duduk di sofa sebelah kananku.
            “Kak Elsa ke mana?”
            “Ke Bengkulu Kak Wita.”
            “Di saat genting seperti ini dia malah tidak ada.” Wita terlihat kesal, rambutnya diikat ke belakang.
            “Wit, bagaimana kalau kita pulang? Sia-sia juga kita di sini, toh Elsanya tidak ada.” Aku memberikan usul, melihat ekspresi Wita saat ini, raut mukanya tak dapat menyembunyikan kekesalannya. Ya harapan kami satu-satunya telah raib, dan kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan lagi.
            Wita hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah berdiri, bergerak menuju sebuah rak yang terbuat dari kayu pohon mahoni. Matanya menelitik ke sana ke mari, melihat setiap detail rak, memperhatikan beberapa frame foto beraneka warna yang terdapat di sana.
            Bunga melihatku sambil tersenyum, kemudian dia berjalan mendekati rak. Aku pun akhirnya berjalan mendekati rak itu. Dapat aku lihat mata Wita berkaca-kaca memandang sebuah frame foto berwarna hijau.
            Di sana terdapat foto lima orang wanita memakai topi pantainya, dengan kaki terendam desiran ombak. Senyum bahagia terlihat dari muka mereka masing-masing, kecuali satu wanita yang memakai kemeja putih. Aku dapat mengenali dua orang di dalam foto itu, Elsa dan Wita. Dan wanita dengan kemeja putih itu diapit mereka berdua, dan dia terlihat sangat kusam di antara senyum-senyum cerah wanita yang lain. Aku bahkan tidak dapat melihat jelas wajahnya karena terlihat memudar dalam foto itu.
            “Ini Reta Dre.”
            Tangan Wita menunjuk ke arah wanita memakai kemeja putih itu, dia menoleh ke arahku. Wita menggigit bibirnya, air mata telah mengaliri pipinya, rambutnya yang panjang sedikit basah terkena air matanya.
            “Sebenarnya Kak Elsa pergi ke Bengkulu setelah bertermu kak Reta.”
            “Reta? Kapan?”
            “Seminggu yang lalu kak.”
            Wita akhirnya berhenti memandang frame foto itu, dia membalikkan kepalanya dan melihat ke arah perbincangan kami.
            “Dre, kita harus menyusul Reta. Mungkin saja dia belum jauh dari sini Dre.”
            Aku melihat Wita dengan rasa iba, dia terus menangis sambil merengek untuk mencari Reta. Aku menahannya untuk pergi, memintanya untuk kembali duduk dan mengajak Bunga untuk menceritakan kedatangan Reta.
            “Kak Reta datang ke mari seminggu yang lalu, tapi beda dari biasanya, kali ini dia hanya memakai gaun putih. Mukanya pun terlihat kusam, saat itu aku sedang duduk di sofa ini sambil menonton tv.”
            Ruang tamu rumah Bunga memang berada tepat setelah pintu masuk rumah ini. Ruangannya terlihat minimalis dengan beberapan sofa yang membentuk huruf L, sebuah meja di tengahnya, dengan pemanis bunga anggrek di atas meja tersebut. Rak yang terdapat banyak foto itu, memiliki tv kecil di tengah raknya.
            “Aku memanggil Kak Elsa, dan saat dia melihat kak Reta…”
            Bunga menghentikan ucapannya. Dia mengambil hpnya, kemudian mengetik suatu pesan. Ah di saat seperti ini, dia masih sempat memainkan hpnya.
            “Kak Elsa menangis saat melihat Kak Reta. Aku memerhatikan mereka baik-baik, tidak ada yang mereka lakukan, hanya saling bertatapan. Tapi Kak Elsa terus saja menangis, hingga akhirnya Kak Elsa berkata ‘Ketika sebuah nada telah dimainkan, dia tidak akan pernah berhenti, kecuali nada sumbang terjadi, atau sang Dewi berkehendak untuk pergi’. Kak Elsa kemudian pingsan, kemudian aku membawanya ke kamar. Dan ketika aku kembali dari kamar, kak Reta sudah tidak ada.”
            “Mengapa kamu tidak mencari Kak Reta saat itu?”
            “Maaf kak Wita, aku tidak bisa. Kak Elsa demam saat pingsan, aku harus merawatnya. Berulang kali Kak Elsa mengigau memanggil nama seseorang, dan ketika dia sembuh, dia memutuskan untuk menenangkan diri ke Bengkulu.”
            “Nama seseorang?”
            “Richard tepatnya.” Bunga menjawab tanpa ragu-ragu.
***
            Wita sibuk memainkan hpnya, sedangkan aku sibuk menghujat pengendara motor yang baru saja menyerempetku dari dalam mobil, di tengah kemacetan kota ini.
            “Elsa sudah bisa dihubungi?”
            Tidak ada jawaban, tidak ada respon, Wita masih sibuk menelepon.
            “Aku jadi khawatir dengan kondisi Richard.”
            Ya sejujurnya sejak pertemuan terakhirku dengannya, aku merasa iba dengan anak itu. Aku tidak tahu kenapa, tapi anak itu seperti memendam kesedihannya di balik tubuh kurus kecilnya. Dan permainan harmonika yang aku dengar dari rumahnya ketika aku pulang, sedikit membuat aku yakin bahwa Richard bisa bermain musik. Bahkan bisa aku bilang, permainan musiknya sangatlah baik, dia mampu mengutarakan kesedihan dalam musik itu dengan harmonika kecilnya.
            “Kita ke rumah Doni ya?”
            Wita mengangguk lemah.
***
            “Sudah Wit meneleponnya, kita sudah sampai.”
            Di tengah petang ini, aku menatap matahari dengan garang. Aku ingin misteri ini selesai sebelum matahari tenggelam. Wita sendiri sudah tidak lagi menangis, dengan memakai sweater abu-abunya, dia berjalan pelan menghampiriku.
            Pintu gerbang rumah Doni tidak dikunci, dan sekali lagi rumah ini sangat sepi. Hanya gesekan angin dan daun yang dapat terdengar jelas olehku. Bahkan kicauan burung cemara tidak terdengar di sini, bukan seperti keadaan biasa rumah-rumah yang bterletak di puncak gunung.
            Aku memanggil Doni sambil mengetuk-ngetuk, tidak ada jawaban. Dan saat aku memegang engsel pintu dengan warna gold ini, aku dapat membukanya dengan leluasa. Pintu depan dan gerbang rumah tidak dikunci, seharusnya di dalam rumah ada seseorang.
            Aku dan Wita menelesir seisi rumah, mencari keberadaan penghuni rumah. Tidak ada tanda-tanda Doni, ataupun Richard berada di sini. Dan saat kami ingin bergegas pulang, aku dapat mendengar suara rintihan dari lantai atas.
            Wita menarikku untuk menaiki tangga. Di sana, di lantai dua, aku dapat mendengar suara rintihan itu semakin jelas, disertai sedikit tangisan dan gemericik air. Aku yakin suara itu berasal dari kamar mandi di ujung lantai ini.
            “Richard!”
            Suara parau itu terus memanggil Richard dari kamar di sebelah kanan tangga ini, karena penasaran aku pun membukanya. Seseorang dengan baju usangnya terbaring lemas di tempat tidur, tangannya diinfus dengan nafasnya yang terengal-engal. Melihat ada yang membuka pintu, dia berusaha bangun, aku dapat melihat mukanya. Dia adalah Pak Dion.
            “To-long se-la-mat-kan ke-dua anak-ku…,” dengan terbata-bata Pak Dion berkata itu kepadaku yang baru saja berdiri di sampingnya. Setelah itu, dia kembali merebahkan tubuhnya, dan matanya terlihat berkaca-kaca. Mulutnya terus berusaha untuk mengeluarkan kata-kata lainnya, walau hanya getaran dan bunyi gemeretak yang dapat aku dengar.
            Aku menaikkan selimut Pak Dion, menyelimutinya. Sembari tersenyum, Wita mengangkat ibu jarinya. Kami berjanji kepada Pak Dion akan menyelamatkan anak-anaknya.
            Mengalungkan tangannya di pundakku, Wita berbisik untuk segera mencari Richard.
            Dan saat ini aku telah berdiri di depan pintu kamar mandi, menggandeng tangan Richard. Entah rintihan dan hal apa yang terdapat di dalam kamar mandi ini, kami siap. Kami akan menyelesaikan misteri ini, menemukan Reta, dan menepati janji kami dengan Doni.
            Aku perlahan membuka pintu kamar mandi yang berwarna biru muda ini. Dan di sana, di balik pintu ini darah mengalir perlahan. Sebuah shower menjadi sumber darah tersebut. Seorang anak kecil duduk dibawahnya, rintikkan air menetes di tubuhnya yang bertelanjang dada. Celana pendek putihnya sudah terlihat memerah, mukanya bengap, dan dari tubuhnya itu aku melihat banyak luka.
            Anak kecil itu tak lain adalah Richard.  Dia duduk di lantai dengan menundukkan kepalanya, sesekali dia mengejang ketika air mengenai lukanya.
            “Richard, kamu kenapa?”
            Dengan sedikit meringis, dia mengangkat kepalanya, mencari siapa yang bertanya. Matanya sembab, darah terus mengalir dari lukanya, dia melihat ke arahku dengan tajam. Kemudian dengan lantang dia mengangkat jari tangan kirinya, menunjuk ke arahku dan Wita. Richard terlihat marah, dia berteriak.
            “PEMBUNUH! Kau membunuh ibuku!”
            Dari arah Richard menunjuk, aku rasa dia menunjuk Wita. Tapi mengapa? Mengapa Richard menuduh Wita pembunuh ibunya? Apa mungkin kecurigaanku tentang ada yang ditutupi Wita benar adanya?
            Sebelum aku sempat mendapat jawaban terhadap berbagai pertanyaan di kepalaku. Sebelum aku dapat melihat Wita untuk bertanya padanya, sebuah hantaman senjata tumpul terasa di belakang leherku. Aku lihat Richard sudah berdiri dengan ketakutan sambil menunjuk ke arah belakangku. Penglihatanku mulai kabur, semuanya menjadi gelap, semakin gelap, dan sangat gelap.

Komentar

Postingan Populer