Requiem Richard

Yohooo!! Akhirnya Requiem Richard selesai juga. Gua pos nih. Buat bacaan valentine Anda mbloo. Sorry kalo harus baca ulang, soalnya kata-katanya ada yang gua ganti. Part terakhir gua simpan buat malam jumat depan. Yihaa!!

Chapter 1 : Requiem Dimulai



Mobil taksi melaju perlahan, perlahan meninggalkan kepenatan kota. Aku berada di dalamnya, dengan menaikkan sedikit lengan kanan bajuku sembari melihat deretan notasi balok di sebuah buku. Sudah 1 bulan aku diminta untuk memainkan piano di rumah seseorang, Pak Dion tepatnya. Aku membenarkan lengan kiri kemeja lusuhku kembali, menyeimbangkannya dengan lengan kanan.
Notasi musik ini  baru setengah bagian aku hafal. Musik ini memiliki notasi lebih rumit dari yang biasa aku mainkan. Musik Requiem, mungkin beberapa orang baru mendengar msuik ini. Supir taksi yang baru saja aku ajak bicara bahkan  membeberkan ketidaktahuannya sembari tertawa dan menyeleneh.
            “Rikuaim? Itu makanan dari negeri mana Mas, hehehe,” supir taksi tertawa  dengan lebarnya untuk memperlihatkan gigi emas yang aku rasa baru sebulan ia pasang.
Aku tidak membalas selenehannya dengan sepatah katapun, cukup dengan tertawa santai. Aku lihat telepon genggamku. Hanya ada segelintir pesan dari provider telepon genggamku, tidak ada yang lain.
Aku adalah Andre. Secara fisik aku adalah anak remaja 19 tahun dengan  bentuk tubuh yang proporsional, ya begitulah pendapat beberapa teman obesitasku.
Dan secara status sosial, aku hanyalah seorang anak dari pengusaha kaya yang 9 tahun lalu usahanya terancam gulung tikar. Sampai sekarang aku tidak mengetahui apa yang ayahku lakukan untuk mempertahankan perusahaannya, dia hanya mengatakan ‘taruhan terbesar dalam hidup adalah ketika kau menaruh temanmu di garis depan’.
            “Wit!” Aku sedikit meninggikan suara saat menelepon Wita, temanku, bukan karena aku marah, hanya sedikit kesal karena dia belum juga datang.
Wita adalah wanita dengan rambut panjang terurai yang memiliki ‘insting’ musik. Dia adalah pemusik handal. Dia juga yang mengenalkan aku dengan Pak Dion, lebih tepatnya melalui Doni, anaknya. Malam selasa adalah malam di mana aku harus memainkan musik Requiem sesuai dengan permintaan Doni. Awalnya aku sendiri heran, kenapa bukan Wita saja yang memainkannya. Tetapi mengingat Requiem adalah nada kematian, dan Wita adalah seorang penakut, wajar jika dia tidak mau.
            “Aku hari ini tidak bisa ke rumah Doni, kamu masuk saja ya. Sudah kenal kan sama Doni?” Wita menjawab pertanyaan serta kegelisahanku karena ia belum juga datang.
            “Baiklah.” Aku menjawab sambil menghela nafas.
Supir taksi sudah pergi daritadi, tidak mungkin juga aku kembali. Rumah Pak Dion terletak di pinggiran kota, dengan pohon rindang di sekitarnya, bukan hal mudah mencari kendaraan pulang di sini.
            Aku berjalan sambil mengutuk segala hal, mengutuk ketidakdatangan Wita, mengutuk mobilku yang tiba-tiba mogok, mengutuk aku yang terlalu malas untuk berbincang dengan Doni tanpa adanya sosok Wita. Dan akhirnya aku tiba di depan pintu rumah ini. Aku berulang kali memanggiln penghuni rumah, tidak ada jawaban dari dalam, hingga aku berniat untuk pulang.
            “Kakak mau masuk?” Seorang anak kecil dengan senyum manisnya mengagetkanku. Bukan karena dia tiba-tiba berdiri di sampingku dengan senyumnya yang riang, melainkan baru pertama kali ini aku melihatnya.
            “Kamu siapa?” Aku sedikit mengernyitkan dahi dan berusaha mengingat, siapa tahu aku sudah terkena penyakit alzheimer.
            “Richard kak”, dia menjawab sembari memegang tanganku, tangan kirinya terlihat membiru, sedangkan tangan kanannya masih berada di sakunya.
Richard? Aku bahkan baru kali ini mendengar nama itu, semua penasaranku lenyap seketika ketika pintu rumah terbuka.
            “Sudah lama Dre?” Doni bertanya sembari mengelap kacamatanya.
Aku hanya menganggukkan kepala. Mataku masih memandangi anak kecil tadi, dengan sesekali berpaling ke arah Doni. Doni adalah teman Wita. Dia memiliki perawakan kekar, tapi seringkali terlihat culun. Dia memiliki mata yang tajam dengan tangan yang kaku dan kasar. Dialah yang meminta Wita untuk mencari pemusik yang dapat memainkan musik Requiem.
Requiem sendiri adalah musik ketenangan arwah yang diciptakan musisi klasik terkenal ,Wolfgang Amadeus Mozart. Mitos sudah tersebar luas di masyarakat, bahwa ada versi lain dari Requiem yang digunakan untuk memanggil arwah. Penuh hawa mistis memang, inilah yang menyebabkan Wita tidak mau memainkannya. Aku pun merasakan keanehan saat memainkan musik ini. Requiem selalu aku mainkan di malam selasa tepat jam sepuluh malam. Dan aku memainkan Requiem dengan piano yang terdapat di ruang makan keluarga Pak Dion. Doni sempat bilang, ini dilakukan untuk mengenang ibunya yang telah meninggal sebulan yang lalu.
            “Richard kenapa masih di sini? Masuk!”, suara Doni meninggi, terlihat jelas kekesalan dalam dirinya. Satu hal yang sulit dipahami, untuk apa kesal terhadap anak kecil yang tidak melakukan kenakalan?
            “Ayo Richard sama Mbak Reta,” seorang wanita berparas cantik menghampiri kami bertiga. Dia adalah Reta. “Mbak Wita ke mana?”, imbuhnya.
Tidak banyak yang aku ketahui tentang Reta. Jika dilihat dari fisik dia adalah wanita berparas cantik. Reta sering berbincang dengan Wita. Gaya pakaian Reta sendiri bagai Sherlock versi wanita.
            “Gua masuk dulu ya Dre, mau mandi.”
            Aku mempersilahkan Doni untuk masuk duluan. Walau saat itu aku masih terpaku dan tak bergeming beberapa menit di depan pintu rumahnya. Doni telah beranjak menuju lantai dua, dan aku hanya beranjak lima langkah dari posisi semula. Aku perhatikan salah satu foto wanita yang terpajang di sudut ruang tamu. Wanita itu berparas sangat cantik, tapi sayang wajahnya sangat kusam, mungkin ini yang disebut sebagai penuaan dini.
            “Lagi liat apa Dre?”
            Reta ternyata telah berada di sampingku daritadi, diliriknya notasi balok yang aku pegang.
            “Main Requiem lagi?”
            “Iya, Ret, aku lagi liat foto ini. Ini siapa?”
            “Ini ibunda Doni Dre, yang meninggal sebulan yang lalu.”
            Aku memalingkan wajahku ke arah Reta, dan menatap Reta lekat-lekat. Kalau aku tidak salah, Reta baru saja merogoh saku celanaku.
            “Aku ke atas dulu ya.”
            Alasan yang tepat aku lontarkan untuk menghindari suasana yang aneh itu. Aku tidak mengerti mengapa Reta merogoh saku celanaku. Dia bahkan tetap bersikap tenang ketika aku beranjak pergi. Sherlock versi wanita ini gila atau apa?
            Aku sekarang telah sampai di anak tangga, menelusuri anak tangga satu per satu, meninggalkan Reta di sana. Dan saat aku tiba di lantai dua pemandangan berbeda terlihat jelas di lantai itu. Suasana di sini mencekam, beda sekali dengan lantai di bawah. Lantai dua memiliki tiga ruangan, dua di sebelah kanan dan satu di sebelah kiri, dengan satu kamar mandi di ujungnya.
            Kamar mandi itu kosong, kebetulan aku sedang ingin buang air kecil. Aku berjalan ke arah kamar mandi.Dan saat aku melewati kamar sebelah kiri. Aku dapat mendengar dengan jelas suara tangisan. Tangisan seorang anak kecil, aku penasaran dan mengupingnya. Aku menduga tangisan itu berasal dari Richard, anak yang baru saja aku temui tadi.
            Rasa penasaran menghimpit setiap detuman jantungku, kuberanikan diri untuk mengintip dari lubang kunci, hanya helaian kain hitam yang terlihat.
            “Dre, lagi ngapain?” Doni tersenyum sembari menepuk pundakku.
Aku buru-buru memalingkan wajah ke arahnya, dengan sedikit senyuman balik tentunya.
            “Ini kamar siapa? Sepertinya di dalam ada yang menangis.” Aku sedikit mengacak-acak rambutku, berusaha agar tidak terlihat kaku.
            “Richard, sepupu gua.”
            “Dia tidak tinggal di sini ya? Kenapa selama ini aku tidak pernah melihatnya?”
            “Dia di sini hanya karena orang tuanya pergi liburan. Sudahlah, lagipula kenapa lu di lantai ini, piano kan masih di ruang makan lantai satu”
            “Oh, aku cuma mau ke toilet kok.”
            Ya, alasan terbaik lagi-lagi bisa dilontarkan oleh otak jeniusku. Sedikit mengherankan memang, rumah sebesar ini hanya memiliki satu buah toilet yang berfungsi. Doni hanya tersenyum, kemudian memberikan isyarat apabila sudah selesai langsung turun ke ruang makan.
            Selama di dalam toilet aku menerka-nerka apakah yang dikatakan Doni suatu kebenaran atau tidak. Aku membuka pintu kamar mandi. Aku melihat Reta sudah berdiri di depan pintu kamar yang tadi aku intip, dengan menggandeng tangan kiri Richard.
            “Richard, tadi kamu yang menangis?”
            Richard membisu.
            “Aku juga tidak tau Dre. Aku hanya disuruh Doni ke sini, dan saat aku tiba Richard sudah berada di depan pintu.” Reta menjawab ketika aku mengalihkan tatapanku ke arahnya sembari mengernyitkan dahi.
            “Ayo Richard kita ke halaman belakang.”
            “Loh, tidak ke ruang makan? Aku mau memainkan Requiem yang indah loh.” Aku tersenyum lepas, berusaha memamerkan bakatku dan mencairkan suasana.
            Richard masih membisu, dengan Reta hanya menggelengkan kepala. Kemudian dalam sekejap, wajah Reta sudah berada di sampingku, sangat dekat. Dengan cepat dia membisikkan suatu kalimat. Suatu kalimat yang terdengar samar. Dia segera pergi bersama Richard setelah selesai membisikanku. Dari kejauhan aku melihat sebuah harmonika dari balik saku celana Richard. Aku jadi teringat aku sering mendengar suara harmonika indah di sini. Aku bertanya pada Doni tentang suara harmonika itu, dia hanya menjawab itu sebagai suara rekaman saja.
            Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tepat di saat aku harus memainkan Requiem. Suasana ruang makan ini masih sepi seperti biasanya, hanya ada piano klasik yang berdiri di sana, dan sebuah peti kayu berwarna cokelat. Ke mana Doni?
            Keresahan mulai terasa pada diriku, sampai sepuluh menit kemudian tiada seseorang pun yang datang. Biasanya jika tidak ada Doni, akan ada Reta yang menemani di ruang makan ini. Pak Dion? Aku bahkan hanya bertemu dia ketika pertama kali memainkan Requiem. Beliau begitu lemah duduk di kursi rodanya, matanya terlihat berkaca-kaca ketika aku memainkan Requiem. Dan setelah pertemuan itu, aku bahkan tidak pernah mendengar lenguhan nafasnya lagi, seperti lenyap ditelan bumi.
            Ah sudahlah, keluarga ini memang aneh. Satu hal yang penting bagiku saat ini adalah untuk mendapatkan honor dari Doni. Dan ini satu-satunya cara bagiku untuk membuktikan kepada orang tuaku jika aku dapat hidup dengan bermusik.
            Aku duduk di atas peti cokelat itu, yang memang didekatkan dengan piano. Kedua benda tersebut berada di tengah-tengah ruangan, dengan meja makan antik di sudut ruangan. Requiem kumainkan dengan manis, satu per satu nada bisa ku mainkan tanpa adanya missed. Semua berlangsung lancar, hingga aku merasakan sebuah angin meniup dari belakang pundakku. Sebuah teriakan terngiang di telingaku, aku berusaha tenang. Bulu kudukku mulai berbaris dengan rata, menunjukkan betapa liarnya ketakutan aku saat ini. Semua ketakutan ini memuncak, hingga kurasakan kakiku ditarik oleh sebuah tangan. Tangan yang begitu halus dan dingin, aku berusaha acuh. Aku berusaha berpikir dalam akal sehatku, peti kayu ini hanyalah peti penyimpanan anggur biasa. Itulah yang dikatakan Doni ketika aku bertanya tentang peti ini. Aku mempercayainya, bahkan aku sangat berusaha mempercayainya agar rasa takutku berkurang.
***
“Dre.”
Seorang lelaki berdiri di depan pintu ruang makan, terlihat darah menetes dari tangannya. Lelaki itu bertelanjang dada, tangan kirinya memegang kaus oblongnya. Dari balik lampu yang redup, aku dapat melihat berbagai bekas luka saling tumpang tindih di tubuhnya. Dan saat itu aku telah menyelesaikan permainan Requiemku, aku bahkan sudah tidak merasakan ketakutan dan tangan dingin itu.
            “Aku sudah selesai Don.” Aku tertawa lepas, sembari melepas sedikit kelelahan jariku. Tentunya hal itu aku lakukan untuk menghilangkan raut wajah pucatku.
            “Lu pulang aja deh Dre.” Doni menyeka keringat di dahinya denga tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih saja meneteskan darah.
            “Daritadi kemana aja Don?” Aku sedikit mengernyitkan dahi, menatap dengan tajam ke arah tetesan darah.
            “Tadi gua membereskan kaca yang pecah.” Doni masih terengah-engah, berusaha mengatur nafasnya.
Dengan kondisi dia seperti itu dia hanya memberikan alasan membereskan kaca. Dia pikir aku bodoh?
            “Tadi aku bertemu Richard dan melihat tangan kanannya. Kenapa tangannya diperban?”
            Doni semakin terengah, bahkan nafasnya mulai tersengal. Dia sedikit menggeram. Pertanyaan di luar konteks yang baru saja aku lontarkan mungkin memaksanya untuk berpikir, atau memang ada yang dia sembunyikan.
            “Sepupu gua? Dia memiliki kelainan sejak lahir, di tangan kanannya hanya ada ibu jari. Karena orang tua dia malu, mereka memaksa Richard memakai perban.” Doni tersenyum menyeringai, sepertinya dia percaya bahwa aku percaya.
            Suasana sudah makin gelap, jam sebelas malam tepatnya saat ini, Doni masih berdiri di depan pintu dengan tetesan darah yang mulai berhenti mengalir. Tidak ada suara lagi selain siulan angin di tengah himpitan daun-daun yang hijau. Aku masih terdiam di sana, memikirkan kata-kata selanjutnya untuk menghilangkan kekakuan. Dan sebelum aku sempat membuka bibirku, taksi yang aku pesan sudah datang.
            Aku mengucap pamit kepada Doni yang mengantar keluar, sembari memandang suasana sepi dari luar rumah.
***
Taksi melaju ke rumahku dengan pelan. Aku mulai merasa mengantuk, dan saat aku mulai memejamkan mata, sayup-sayup aku melihat wajah Reta. Aku terbangun dari tidurku, teringat akan sedikit bisikkan Reta, bisikkan yang berbunyi ‘dia memperhatikan kita’. Aku merogoh sakuku, terdapat sebuah kertas kecil. Kertas yang terlipat, di mana di dalam lipatannya terdapat kuku kecil dengan darah. Tulisan darah dapat terlihat jelas tertulis di kertas itu, tulisan ‘SELAMATKAN RICHARD’.

Komentar

Postingan Populer