Requiem Richard
Chapter 5 : Pengkhianatan
“Kak Andre tidak
apa-apa?”
Sebuah cahaya silau
menyorot mataku. Pemilik tangan itu menyorotku dengan cahaya handphone. Aku tidak dapat melihat
dirinya, tapi aku mengenali suaranya.
“Kalian tidak apa-apa
kan?”
Suara lain terdengar dari
dekatku. Dan di saat itu Wita berteriak senang.
“Elsa!” Wita kembali
berteriak.
Listrik seketika nyala,
dan di bawah cahaya lampu ini, aku bisa melihat sosok di depanku. Seorang
remaja manis dengan kacamata merah mudanya tersenyum ke arahku.
“Bunga?”
Dia mengangguk. Lalu
menunjuk ke arah Richard dan seorang wanita yang memakai jaket hitam.
“Aku ke sini bersama Kak
Elsa.”
Wita berlari cepat
menelusuri anak tangga, wajahnya terlihat gembira. Dia memeluk Elsa yang sedang
memegang tangan Richard. Beberapa menit kemudian, Wita seperti mengingat
sesuatu. Saat itu raut wajahnya yang bahagia tiba-tiba berubah menjadi sedih.
“Reta sudah tiada, Sa.”
Wita berucap dengan lirih.
“Gua sudah tahu Wit.
Lebih baik kita cepat pergi dari sini, sebelum dia kembali.”
“Dia siapa?” Aku bertanya
sambil celingak celinguk melihat sekeliling.
“Nanti saja ceritanya di
rumah gua. Lebih baik kita segera bergegas pergi.”
Aku dan Wita mengangguk.
Richard sendiri mulai terlihat kelelahan. Aku akhirnya menggendong Richard untuk
keluar dari rumah ini. Aku keluar dari rumah yang penuh kekelaman ini dengan
diiringi hujan dan petir. Mobilku hanya berisi tiga orang, aku, Wita dan
Richard yang sudah tidur di jok belakang. Saat aku gendong tadi, dia sudah
tertidur. Raut kelelahan terlihat jelas dari wajahnya. Elsa dan Bunga sendiri
berada di mobil mereka sendiri. Mobil kami beriringaan meninggalkan rumah itu,
ditemani malam kelabu, dan hujan yang menderu.
***
“Aku
sebenarnya tidak berharap bertemu kalian di saat ini.” Elsa membuka perbincangan.
Perbincangan
kami pun dimulai. Hanya ada aku, Wita, Elsa dan suara hujan yang menderu.
Richard tidur dan ditaruh di kamar atas, dengan Bunga yang menemaninya.
“Kita
akan menguak semua misterinya kali ini. Gua ke Bengkulu bukan hanya untuk menenangkan
diri, melainkan bertanya informasi kepada bokap nyokap gua.”
Aku
menggeliat sedikit, posisi dudukku terasa kurang nyaman. Wita sendiri
mengetukkan jarinya di meja. Saat ini kami telah berada di rumah Elsa dan Bunga.
Aku duduk di sofa paling kanan, dengan Wita di sebelahku. Elsa masih berdiri di
hadapan kami, sesekali dia berjalan mondar-mandir. Tingkahnya benar-benar aneh.
“Gua
sengaja pulang lebih dahulu dari jadwal yang diharuskan karena gua merasakan feeling yang tidak enak. Benar saja,
ketika gua sampai di bandara, pesan singkat dari Bunga muncul di handphone-ku. Pesan bahwa kalian
mencariku.”
“Lalu
informasi apa yang kamu dapat di Bengkulu?” Aku mengelus daguku seperti
layaknya polisi yang sedang menginterogasi.
“Apakah
kalian masih berpikiran bahwa semua kejadian ini kebetulan?”
“Jadi
kamu mau bilang kematian Reta itu sudah direncanakan sejak awal?”
Angel
mengangguk, Wita berdiri lalu berjalan ke arah dapur. Sekilas dia bertanya aku
mau minum apa, dan aku hanya menggeleng. Aku lanjutkan perbincanganku dengan
Elsa, sepertinya dia mengetahui petunjuk tentang kematian Reta.
“Dre,
ingat I-corp?”
“Tentu
saja aku mengingatnya.”
I-corp
adalah nama perusahaan ayahku sebelumnya. Perusahaan itu sangat besar, sehingga
memiliki delapan anak perusahaan. Dalam hal ini, anak perusahaan sering disebut
dengan sektor, misalnya ayahku memimpin sektor A. Beberapa sektor mempunyai
pimpinan lebih dari satu. Dan cuma sampai di situ hal yang ayahku ceritakan,
lagipula I-corp sekarang sudah bangkrut. Para pemimpinnya memutuskan untuk
memisahkan diri dan membentuk perusahaan masing-masing.
“Gua
khawatir akan ada korban selanjutnya.” Elsa menghela nafas.
“Maksudmu?”
Aku menatap dia dengan raut penasaran.
Elsa
belum menjawab, dia menoleh ke samping. Wita berjalan sambil membawa tiga gelas
air jeruk. Dengan perlahan dia menaruh air jeruk itu di meja. Aku memandangnya
dengan heran.
“Diminum
dulu air jeruknya. Aku udah biasa main ke sini Dre, jadi membuat minuman di
sini adalah hal biasa bagiku.” Wita menanggapi pandangan heranku terhadapnya.
“Kamu
benar bertemu Reta, Sa?” Wita melanjutkan pembicaraan, suaranya terdengar agak
berat.
“Sudah,
jangan menangis lagi. Kita harus merelakan kepergian Reta. Kita harus kuat,
karena bisa jadi korban selanjutnya adalah salah satu dari kita.”
Aku
hampir saja tersedak air jeruk, karena Wita tiba-tiba tersungkur ke sofa.
Mungkin dia terkejut, aku pun merasakan hal yang sama.
“Kita
korban selanjutnya?” Wita bertanya sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Ini
memang resiko yang harus kita tanggung Wit, karena kita telah membawa Richard
pergi.”
“Bukan,
kita memang sejak awal pasti menjadi korban. Lu masih ingat Rangga?”
Dari
tatapannya, aku sangat yakin Elsa bertanya padaku. Aku berusaha mencari Rangga
dalam setiap memori di otakku. Ada! Rangga adalah anak teman ayahku. Dia sering
diajak main oleh ayahnya ke rumahku. Tapi itu dulu, waktu kami masih kecil, aku
bahkan tidak tahu di mana dia saat ini.
“Rangga
telah meninggal Dre.” Elsa memandangku dengan serius.
“Meninggal?
Kapan?” Suaraku sedikit gemetar, tentu saja rasa sedih mulai berkecamuk dalam
diriku.
“Sebulan
yang lalu. Diperkirakan dia meninggal pada hari senin di jam sepuluh malam.”
“Lalu?”
Aku yakin ada sesuatu di balik kematian Rangga yang membuat Elsa memasukkannya
dalam perbincangan kami.
“Mayat
Rangga tidak memiliki jari tangan sama sekali.”
Wita
yang sedaritadi hanya diam seribu bahasa, langsung menoleh ke arah Elsa. Aku
pun sontak bangkit dari tempat dudukku.
“Kematian
Rangga masih dianggap misterius. Satu hal yang penting lagi, ayah Rangga adalah
pemimpin sektor D I-corp.”
“I-corp?
Maksudmu perusahaan kerja sama ayah kita dulu?”
Kata-kata
Wita semakin menambah rasa penasaranku. Aku bahkan baru mengetahui Wita dan
Elsa merupakan anak dari pemimpin I-corp juga.
“Iya
Wit. Perusahaan bokap lu, bokap gua, bokap Andre, bokap Rangga, dan Bokap
Doni.”
Jeger!
Aku bagai disambar petir siang bolong. Aku memang mengetahui I-corp mempunyai
sebelas pemimpin yang saling bekerja sama. Tapi aku tidak pernah menyangka
bahwa beberapa dari mereka adalah ayah dari temanku. Dan aku sama sekali tidak
percaya Doni adalah anak dari salah satu pemimpin perusahaan itu. Apa mungkin
kami memang benar-benar saling terhubung? Apa mungkin kematian Reta berkaitan
dengan I-corp?
“Siapa
yang memberitahukanmu tentang hal ini?” Wita bertanya dengan nada
ketidakpercayaan.
“Reta.”
Elsa menjawab dengan lirih.
Sesekali
aku lihat jam di dinding, waktu sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam.
“Masih
ingat sama cerita Bunga?” Elsa bertanya setelah lebih dari semenit kami cuma
diam seribu bahasa.
Aku
mengangguk.
“Lalu
apa yang terjadi Sa?”
“Sejujurnya
Wit, gua juga ragu kalian akan mempercayai ini. Saat gua pingsan setelah
melihat arwah Reta…”
“Arwah?”
Aku memotong ucapan Elsa.
“Iya,
arwah. Yang Bunga lihat itu adalah arwah Reta. Arwah yang baru saja
meninggalkan raganya. Bisa dibilang pada saat gua bertemu Reta, dia baru saja
meninggal.”
“Lalu
siapa yang membunuhnya Sa? Siapa?” Suara Wita terdengar sedikit serak.
Elsa
hanya menggeleng lemah. Dia akhirnya berhenti mondar-mandir, dan duduk di atas
sofa. Kebalikannya, aku saat ini berdiri terpaku memandang Elsa dan Wita.
Sesekali aku menengok ke luar jendela melihat hujan yang semakin deras.
“Saat
gua pingsan, gua melihat Reta duduk di atas sebuah piano. Dia tersenyum, sambil
menggoyangkan kakinya. Gaun putihnya yang cantik beberapa saat kemudian
dipenuhi tetesan darah, Reta menangis dan mengeluarkan darah. Kemudian dari
darah itu dia menuliskan sebuah kalimat.”
“Kalimat
apa Sa?”
“Jika
takdir benar adanya, Kutukan Requiem akan berhenti di anak dari pemimpin I-corp
yang kesepuluh, yaitu Andre.”
“Andre?
Maksudnya aku?” Aku menyahut.
“Gua
saat itu belum sadar kalau itu lu. Karena penasaran, gua mencari-cari informasi
tentang Kutukan Requiem.”
“Kutukan
Requiem, aku pernah mendengar tentang hal ini. Tapi bukannya ini hanya mitos?”
Elsa
menggeleng.
“Kutukan
Requiem itu ada Dre, dan itulah yang menyebabkan kematian Reta.”
Wita
meggigit kukunya. Malam ini terasa begitu dingin, hujan masih saja turun dari
langit.
“Dan
ini informasi yang berhasil gua dapatkan.”
Elsa
mengambil sebuah amplop berwarna cokelat, kemudian menaruh isinya secara
berurutan di meja. Dan saat ini di meja aku memandangi foto-foto yang Elsa
urutkan tadi. Semua foto ini diberikan tanda silang berwarna merah, dengan foto
Reta di ujung kanan.
Di
bagian bawah foto terdapat nama beserta satu buah huruf tertera di sampingnya.
“Apa
maksudnya Rangga – D dan tanda silang ini?”
“Tanda
silang berarti telah meninggal, huruf D melambangkan sektor tempat orang tua
mereka memimpin perusahaannya.” Elsa menatap aku dengan serius.
Wita
yang memerhatikan foto ini tiba-tiba mengernyitkan dahinya. Dia seperti melihat
sesuatu yang ganjil.
“Menyadari
sesuatu Wit?” Elsa tersenyum ke arahnya.
“Urutan
sektor ini, sama seperti urutan nada di Requiem.”
Aku
menepuk jidatku. Aku bahkan tidak menyadari hal ini dari sebelumnya. D-E-G-F-C,
itu adalah urutan yang terbentuk dari huruf-hurus pelambang sektor ini. Dan
huruf itu sama dengan nada pertama Requiem, re-mi-sol-fa-do.
“Mereka
meninggal dengan satu kondisi yang sama, tidak memiliki jari tangan. Gua bahkan
sudah menelusuri ini hingga jauh, menelusuri ketiga korban lainnya yang
meninggal selain Reta dan Rangga. Mereka bertiga meninggal secara berurutan, di
setiap malam selasa, dengan dugaan terjadi pukul sepuluh malam.”
Aku
berteriak, menarik rambutku ke atas. Air mata sedikit tumpah dari mataku. Pukul
sepuluh malam adalah waktuku memainkan Requiem. Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa
aku memainkan kutukan ini?
“Tapi
di malam Reta diduga meninggal. Aku bahkan tidak memainkan Requiem,” ucapku
dengan sedikit geraman.
Aku
benar-benar marah. Marah kepada diriku yang memulai hal ini, mungkin saja aku
dalang dari kematian mereka. Seharusnya aku saja yang meninggal, bukan mereka.
“Mungkin
ada orang lain yang memainkannya.” Wita menyahut, dia berjalan ke arahku dan
berusaha menenangkanku.
“Lu
tidak salah Dre, coba perhatikan baik-baik Requiem yang lu biasa mainkan dengan
Requiem ini.”
Elsa
memberikanku beberapa lembar kertas dengan notasi balok dengan tulisan Requiem
pada judulnya. Notasi balok Requiem ini berbeda sekali dengan notasi balok
Requiem yang diberikan Wita kepadaku dulu.
“Kok
notasinya berbeda dari yang pernah aku mainkan?” Aku menoleh ke arah Elsa.
“Coba
tanyakan hal ini kepada Wita.”
Wita
terperangah. Beberapa menit kemudian dia hanya diam seribu bahasa.
“Kenapa
masih diam? Gua kecewa sama lu Wit.”
Elsa
mengangkat dagu Wita dengan tangan kanannya. Dia menatap Wita tajam. Wita
memalingkan wajahnya dari Elsa. Dan dalam hitungan sekejap, tangan Elsa sudah
menampar Wita.
“Jawab!”
Bulir-bulir
air mata jatuh tepat di pipi Wita. Elsa menangis.
“Kalian
kenapa?” Aku berusaha menjauhkan mereka berdua.
Wita
tersungkur di sofa. Elsa sendiri masih berdiri dengan tangannya yang mengepal.
Aku berusaha menahan dirinya.
“Wita,
lu sahabat gua kan? Tolong cerita apa yang sebenarnya lu sembunyikan Wit.”
Wita
masih saja diam seribu bahasa.
“Jadi
benar lu membunuh Ibu Lidya? Atau jangan-jangan lu juga membunuh Reta?”
“Jangan
sembarangan menuduh seseorang!”
Aku
berteriak depan muka Elsa. Aku merasa kesal melihat Elsa yang terus menghujat
Wita tanpa memberikan alasan.
“Gua
tidak sembarangan menuduh Dre. Sejak Wita meminta Reta untuk menyamar menjadi
pembantu di rumah Doni, gua sama Reta sudah curiga. Apalagi ketika dia meminta
lu memainkan Requiem, karena saat Reta melihat notasinya, Reta mengetahui
dengan jelas kalau itu bukanlah Requiem yang sebenarnya. Selain itu, Richard
pernah cerita ke Reta kalau Wita adalah pembunuh ibunya. Kita perlu bukti apa
lagi Dre? Jelas ada yang Wita sembunyikan.”
Petir
menyambar semakin ganas. Hujan turun semakin deras. Sayangnya ruangan ini
semakin memanas. Aku masih berdiri menahan Elsa untuk tidak memukul Wita. Wita
masih terdiam di sofa, dia terlihat sangat gelisah. Elsa sendiri sudah layaknya
macan yang siap mencabik mangsanya.
Di
saat kondisi memanas itulah aku mendengar sayup-sayup suara musik. Tidak salah
lagi, itu adalah Requiem. Waktu menunjukkan tepat pukul sebelas. Pandangan Elsa
berubah menjadi gelisah, dia segera berlari menuju kamar Bunga. Aku
mengikutinya.
“Bodohnya
gua. Gua tidak sadar jika dia ada di sini.”
“Siapa?”
“Dia,
iblis yang tercipta dari kutukan Requiem.”
“Maksudmu?”
“Kiyaaa!”
Aku
dapat mendengar suara teriakan Bunga. Elsa berlari lebih cepat ke arah kamar
Bunga. Dia membuka pintu Bunga, dan di sana Bunga menjerit-jerit meminta
tolong.
Kamar Bunga lantainya
dipenuhi darah. Aku lihat dengan jelas wajah Bunga sudah penuh dengan darah.
Bahkan kacamatanya tertutup dengan darah, dia terus menjerit sambil berontak.
Tapi sosok hitam yang berdiri di depannya semakin ganas mencekiknya. Bunga
diangkatnya hingga melayang satu meter dari tanah.
Sosok hitam itu merasakan
kehadiran kami dan menoleh ke belakang. Aku dapat melihat dengan jelas melalui
mata kepalaku sendiri, wujud asli dari sosok hitam itu. Sosok hitam itu
ternyata seorang wanita yang memakai gaun berwarna hitam. Rambutnya
acak-acakkan, matanya hitam, dan wajahnya putih pucat. Mulutnya dipenuhi dengan
darah, dan telinganya hampir putus sebelah. Dia memandang aku dan Elsa dengan
liar, tangannya masih mencekik Bunga.
“Bunga!
Lepaskan adik gua iblis! Jauhi adik gua.” Elsa berjalan mendekatinya.
“Kakak.
Tolong.”
Nada
Requiem terus saja berbunyi. Iblis itu masih saja mencekik Bunga, semakin ganas
malah, dia menggigit leher Bunga. Darah mengucur deras dari leher Bunga, dan
dijilati oleh iblis itu.
Elsa
mengamb meja kecil dan menghantamkannya ke arah iblis itu. Iblis itu menoleh.
Dia menatap Elsa dengan tajam, melepaskan Bunga dan kemudian menghilang. Bunga
jatuh tengkurap dari ketinggian satu meter. Bunyi hantamannya begitu
mengerikan.
“Richard!”
Aku
berlari ke pojok ruangan. Aku mendapati seorang anak pingsan dengan jari
kelingking kirinya telah putus. Aku menggendongnya, ingin membawanya ke rumah
sakit terdekat. Sebelum sempat aku keluar dari pintu kamar ini, Elsa
berteriak-teriak memanggil adiknya.
“Bunga!
Jangan Bunga! Tetaplah di sini!”
Elsa
menarik tangan Bunga yang berjalan ke arahku. Mata Bunga putih, tangannya terus
mencakar pipinya. Bunga menjerit semakin menjadi-jadi. Waktu serasa berhenti,
Requiem masih berbunyi. Aku yang sedang menggondong Richard, dikagetkan oleh
Bunga yang telah berdiri di depanku.
Aku
menoleh ke belakang. Elsa tengkurap, dia meringis kesakitan. Tangannya memegang
kaki kanannya. Sebuah gunting menancap di kaki kanannya dan dari situ darah
menetes perlahan-lahan.
“Bunga!
Apa yang kamu mau lakukan?”
Bunga
tidak mendengar pertanyaanku, tangannya malah sudah menempel di leherku. Dia
mencekikku, aku berusaha melawan.
“Jangan
Dre, dia adik gua.” Elsa berteriak dengan terbatuk-batuk dan memuntahkan darah.
“Bunga!”
Aku berteriak.
Sesak.
Aku
tidak bisa merasakan tanganku lagi. Richard sudah terjatuh di lantai. Hidupku
seperti di sebuah ambang batas. Iblis itu datang di depan mukaku, dengan gigi
berdarahnya dia menyeret tanganku. Dan saat itu, Reta juga menarik tanganku,
dan kemudian aku tersadar. Nafasku masih sesak, aku berusaha berontak. Bunga
masih mencekikku.
Aku berusaha melepaskan tangannya dari leherku.
Aku berusaha melepaskan tangannya dari leherku.
Mata
Bunga semakin memutih, bibirnya berkomat-kamit tidak jelas, dan tangannya
bergetar. Dia melepaskan tangannya dari leherku, lalu memegang lehernya
sendiri, dan mencekiknya.
“Lari
Kak Andre, lari.”
Aku
dapat mendengar teriakan Bunga saat itu. Setelah teriakan itu perlahan dari
tubuh Bunga keluar aura gelap. Bunga sendiri kemudian pingsan. Aura gelap itu
telah berubah wajah menjadi iblis tadi. Dia berjalan mendekatiku sambil menyeretkan
kakinya.
Wajahku hanya berjarak
sejengkal dari wajahnya. Aku dapat melihat bayangan kematian tergores jelas di
mukanya. Dia menggores leherku dengan kukunya. Tubuhku kaku. Dia menempelkan
lidahnya di bibirku, lalu menjilat-jilat bibirku. Aku dapat merasakan darah
tiba-tiba mengalir dari bibirku. Perih. Aku tak berdaya. Mungkin ajalku akan
segera tiba. Dan saat aku merasa akan mati, nada Requiem tiba-tiba saja
berhenti, dan iblis itupun pergi. Aku bahkan tidak mengetahui ke mana dia
pergi, dalam sekejap dia telah menghilang.
“Bunga.”
Elsa memanggil adiknya dengan lirih.
Elsa
merangkak ke arah Bunga yang pingsan di sampingku. Dia berusaha memeluk Bunga.
Aku sendiri masih berdiri terpaku di sana. Kakiku bergetar, aku takut mati. Aku
belum mau mati. Aku menutup wajahku. Aku mencoba meremas pipiku, menganggap ini
adalah sebuah mimpi. Aku ingin berhenti dan keluar dari permainan ini mungkin.
Iblis itu benar-benar akan membunuhku tadi.
Pintu
kamar kembali terbuka, aku melihat seorang wanita tertawa melihat kami. Wanita
itu adalah Wita, yang datang membawa sebilah pisau. Matanya terlihat tajam,
memandang penuh kemarahan kepada kami.
“Nada
sumbang akan aku mainkan, dan Requiem akan berakhir. Hahaha.”
Hujan
telah berhenti. Aku merasa hidupku hanya tinggal sebentar lagi. Mungkin aku
sudah tidak dapat melihat indahnya mentari.
Komentar
Posting Komentar