Requiem Richard



 Chapter 7 : Requiem Berakhir?!

Aku telah sampai di rumah Doni. Rumah ini begitu sepi. Elsa keluar dari mobilnya dengan memakai jaket hitamnya, dia berjalan cepat ke arahku. Dia memelukku erat.
            “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di sana. Iblis itu sudah menunggu di sana. Gua tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Kita akan menghadapi bahaya di sana. Jangan mati Dre.” Elsa berbisik padaku.
            Elsa memelukku semakin erat. Air mata terasa di pundakku. Atau mungkin air hujan yang mulai mengguyur daratan. Entahlah, tidak ada yang tahu pasti. Yang kami tahu saat ini hanyalah ini adalah nada terakhir yang akan kami selesaikan. Kami akan menyelesaikan kutukan ini bagaimanapun caranya. Walau dengan bayaran nyawa sekalipun.
***
            “Mama!”
            Aku memalingkan wajahku ke arah teriakan itu. Teriakan itu diteriakan berulang kali, semakin lama semakin menggema, dan mengiring langkahku mendekatinya. Dan saat aku merasa semakin dekat dengan sumber teriakan itu, aku kembali berada di sebuah hutan.
            Anak kecil itu lagi. Dia kembali mengejar sesuatu. Aku kembali mengejarnya. Aku terus mengejarnya seperti yang biasa aku lakukan.
            Dan dia kembali berhenti di tengah hutan. Di tengah hutan itulah aku kembali melihat anak kecil tersebut menangis, berteriak kepada anak perempuan itu. Anak perempuan itu tidak menengok sedikitpun, dengan angkuhnya dia tetap memainkan sebuah piano.
            “Hentikan dik, hentikan!” Anak kecil itu menangis.
            Aku melihat mereka dari kejauhan. Piano ini mengeluarkan musik yang kukenal, Requiem! Tidak salah lagi, aku benar-benar mendengar jelas Requiem ini dimainkan dengan melodi yang menakutkan. Aku yang sering memainkan Requiem sangat tahu tentang musik ini dari nada pertama hingga nada terakhir. Tunggu! Bukankah ini adalah Kutukan Requiem? Berarti akan ada seseorang yang meninggal.
            Siapa? Sudahlah, aku takut bertemu iblis itu lagi. Lebih baik aku pergi dari hutan ini, mencari jalan keluar dari sini.
            “Mama!” Anak kecil tadi berjalan menghampiriku.
            Aku bingung. Apa benar dia menghampiriku? Tidak mungkin, aku saja tidak mengenali dirinya. Penglihatanku kabur, aku tidak dapat melihat dengan jelas siapa anak kecil itu. Ah, padahal baru kali ini aku bisa melihat wajahnya.
            “Mama!” Dia menubruk sebuah benda yang terinjak kaki kananku.
            Anak kecil itu menangis. Dia berteriak, kelakuannya semakin menjadi-jadi. Dia memeluk benda itu seerat mungkin. Perlu beberapa saat hingga aku menyadari benda itu adalah seorang wanita. Iya, wanita dengan baju hitamnya tergeletak di bawah pohon beringin.
            “Mama, jangan mati! Hentikan permainannya! Musik ini terkutuk dik, terkutuk!”
            Aku memandang ke arah anak perempuan itu. Dia masih memainkan pianonya tanpa kenal lelah. Aku dapat melihat semakin jelas, sebuah tangan hitam memegang jari-jari anak perempuan tadi. Dengan lincahnya tangan hitam itu menggerakkan jari anak itu, hingga terciptalah permainan piano yang indah. Indah tapi sekaligus mengerikan. Aku memandang tangan hitam itu sekian lama, hingga aku tersadar ada seseorang yang duduk di atas piano.
            Aku sangat mengenal orang itu. Dialah iblis terkutuk yang tercipta dari Kutukan Requiem. Atau mungkin dialah sesungguhnya yang mengutuk Requiem. Dialah Selena.
            Entah mengapa aku mengetahui dirinya, dan selak beluknya. Selena tinggal di sebuah gubuk kecil di Jerman seratus tahun yang lalu. Kehidupannya tenang, bersama suaminya dia menjadi pemusik keliling. Banyak musik yang dia mainkan, dan yang paling diminati masyarakat adalah Requiem. Mungkin karena desa ini terkenal dengan wabah penyakit menularnya. Penyakit ini akhirnya diderita oleh suami Selena.
            Aku terdiam. Semua bayangan masa lalu ini seperti sebuah film pendek yang diputarkan dalam otakku. Aku tidak dapat menolaknya, kisah Selena terus berlanjut dalam pikiranku.
            Selena yang diminta memainkan Requiem di kerajaan terpaksa tidak datang karena suaminya sakit. Raja pun marah, dan menghukum Selena dengan memotong ibu jarinya. Sejak saat itu, Selena tidak pernah mau memainkan Requiem lagi.
            Kehidupan Selena semakin tidak karuan. Suaminya telah meninggal, dan dia tidak mendapatkan penghasilan. Semua warga ingin dia memainkan Requiem kembali, tapi Selena menolaknya. Akhirnya karena benar-benar membutuhkan uang, Selena memainkan Requiem. Entah mengapa, di ruangan tempat dia memainkan Requiem, beberapa anak tiba-tiba meninggal dunia. Banyak yang mengira Selena telah menaruh kutukan dalam permainan pianonya. Mereka marah! Dan saat itu juga, mereka membakar Selena hidup-hidup.
            “Aku mengutuk Requiem untuk selama-lamanya!” Teriak Selena di balik ganasnya api yang menghabisi tubuhnya.
Keanehan terjadi. Abu Selena membentuk sebuah susunan nada Requiem.
Aku menggigit bibirku. Aku tersadar dari lamunanku, namun aku belum sepenuhnya sadar. Entah mengapa aku sudah memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggil mama oleh anak itu. Wajahnya menyeramkan, tapi dalam hatiku penuh damai memeluknya. Wanita ini sudah meregang nyawa, mulutnya terbuka lebar. Darah mengalir dari matanya, dan jari-jari tangannya telah putus.
Aku takut. Tapi semakin aku takut, semakin aku memeluk wanita ini dengan erat. Aku mulai merasakan ketentraman dalam diriku. Hingga sebuah darah terciprat ke wajahku.
Anak tadi, dia menusuk adiknya dengan sebuah dahan yang tajam. Darah terus terciprat ke mana-mana, adiknya terus menjerit kesakitan. Layaknya seorang psikopat dia tidak puas melihat cipratan darah itu, dia menusuk mata kanan adiknya dengan ranting. Adiknya menjerit, hingga mati.
Anak itu gila! Dia bahkan menggigiti telinga adiknya hingga putus. Dia juga mencakar-cakar pipi adiknya yang mulus. Semua dilakukannya tanpa ada rasa bersalah. Dia memandang lugu ke sekeliling, lalu melanjutkan perbuatannya dengan menarik satu per satu rambut adiknya.
Ganas! Liar! Buas! Mata adiknya dicongkel dengan beberapa dahan. Dia memainkannya bagaikan sebuah bola pingpong. Berkali-kali dia tertawa senang melihat bola mata yang dihiasi darah itu menggelinding bebas di tanah hutan.
Aku memandangnya dengan ketakutan. Mungkin saja dia sebentar lagi akan membunuhku.
“Siapa kau?”
            Sejurus kemudian anak itu menoleh ke arahku. Dia berlari menghampiriku. Aliran darahku terasa beku, dan jantungku terasa berhenti. Tapi anak itu terus berlari, hingga akhirnya dia melewatiku. Di saat dia berlari, dia membuka bajunya yang dipenuhi darah. Aku dapat melihat tanda lahir di punggungnya. Tanda lahir yang sama dengan milikku, dan aku akhirnya tahu. Aku tahu arti dari semua ini. Anak kecil itu bukan seseorang yang kukenal. Dia bahkan tidak pernah bertemu denganku, karena anak kecil itu sesungguhnya adalah aku. Dan semua hal ini merupakan masa laluku.
***
            “Sudah bangun Dre?” Seorang lelaki dengan kemeja putihnya tersenyum ke arahku.
            Kepalaku sedikit pusing. Aku memperhatikan sekeliling. Rokok, alkohol, cambuk, dan pisau tersebar di sekeliling ruangan. Mataku terbelalak melihat pisau yang tergeletak di lantai, darah yang sudah beku tertempel jelas di situ.
            “Mau pisau ini Dre?” Dia mengangkat pisaunya, lalu menjilat darah yang tertempel di pisau itu.
            Iya, lelaki dengan kemeja putih itu adalah Doni. Aku teringat terakhir kali aku berdiri di lantai dua sebuah tusukan mengiris perutku. Aku mencoba melawan, tapi sekejap sebuah hantaman kasar mengenai punggungku.
Hal itu terjadi setelah aku dan Elsa masuk ke rumah ini. Rumah Doni tidak terkunci, tapi lagi-lagi rumah ini sepi. Aku dan Elsa akhirnya memutuskan untuk berpencar mencari Richard. Aku menuju lantai dua, dia menuju lantai satu. Aku memang sudah merasakan ada hentakan kaki yang terasa mengikutiku.  Tapi aku tidak menyangka itu adalah Doni.
“Darah lu nikmat juga.” Doni terus menjilati pisau itu.
Aku takut. Aku berusaha untuk lari. Aku baru menyadari bahwa tubuhku terikat tali. Ikatannya sangat kuat, aku tidak bisa bergerak sama sekali.
“Mau ke mana Andre? Mau lari? Lu tega meninggalkan cewek manis di belakang lu?” Doni menunjuk ke arah belakangku.
Aku menengok ke arah belakang. Seorang wanita cantik dengan kaus putihnya diikat di sebuah kursi, sama sepertiku. Dia menunduk, rambutnya acak-acakkan. Tangannya kotor, kakinya mengalirkan darah.
“Maaf Dre, gua tidak sengaja menusuk kakinya.” Wajah Doni berada tepat di hadapanku.
“Kau gila!”
Doni memukulku perutku dengan kencang. Aku mengerang kesakitan, pukulannya tepat mengenai luka tusukku. Dia lalu mengangkat daguku, mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku berusaha berpaling. Doni meludahiku.
“Bunuh saja aku sekarang, dan lepaskan Wita. Aku tahu kamu dendam sama orang tua kami.”
“Melepaskan Wita? Lu bahkan tidak tahu dia yang ingin membunuh lu. Dia yang telah berjanji pada gua untuk membunuh Lidya dan sebagai imbalannya gua akan membunuh lu.”
“Bohong!”
“Sayangnya Wita sendiri tidak tahu bahwa Kutukan Requiem juga dimainkan untuknya. Ketika dia mengetahui dia akan terbunuh, dia menjadi ketakutan dan mengirim Reta ke mari. Sayang, sekali lagi itu hanya menambah mulus rencanaku.”
“Bohong!” Aku berteriak semakin kencang, suaraku menggema.
“Diam Dre! Itu benar!” Wita membalas teriakanku dengan teriakannya.
“Tuh, malaikat cantiknya aja sudah mengakui kejahatannya. Kasihan ya, padahal sepertinya lu cinta sama Wita.” Doni memutar kursiku, menghadapkanku dengan Wita.
Wita menitikkan air matanya. Dia terus menunduk. Doni berjalan mendekatinya. Dengan santai Doni mengelus rambut Wita. Lalu dengan cepat dia menjambang rambut Wita, Wita menjerit.
“Tapi kenapa Wit? Kenapa?”
“Kamu yang harus dipertanyakan Dre. Kamu monster. Kamu tega membunuh adikmu sekeji itu. Kamu bahkan mengejarku dan hampir membunuhku. Iya aku, gadis kecil yang berdiri di balik semak belukar itu.”
Aku mengingat semuanya. Requiem, ibu, adik, dan Wita. Hutan itu tempat aku dan keluarga Wita mengadakan piknik bersama. Aku dan adikku bermain ke dalam hutan dan menemukan sebuah piano. Adikku melihat sebuah kertas terselip di piano tersebut. Notasi sebuah musik, dia memainkannya. Awalnya aku menyukai musik itu, tapi semakin lama adikku tidak berhenti memainkannya. Berkali-kali aku mengajaknya pulang dan tidak mendengarku. Hari sudah gelap dan aku berencana melapor ibu. Sayangnya aku tersesat. Aku kembali ke tempat awal, dan aku menemukan ibuku tergeletak tak bernyawa di dekat adikku. Aku marah kepada adikku, dan aku kehilangan kendali.
Ayahku merahasiakan ini semua dari polisi. Bahkan ayahku memanggil psikolog terkenal untuk membantuku menghilangkan trauma tersebut. Aku lupa dengan trauma tersebut, bahkan lupa dengan kejadian itu. Semuanya hanya kuingat di dalam mimpiku.
“Kamu tidak mengerti apa yang terjadi Wit.”
“Aku mengerti Dre, kamu memang iblis yang sesungguhnya. Aku takut kamu akan membunuhku, makanya aku bekerja sama dengan Doni. Aku memberitahukannya tentang  Kutukan Requiem. Dan sungguh disayangkan, Kutukan Requiem itu sendiri yang akan membunuhku sebentar lagi. Ini semua salahmu Dre!”
“Sudah, sebentar lagi Requiem akan dimulai, tenanglah. Gua akan pergi mengurus dua orang lainnya. Tenanglah, dan susulah Reta, sahabat lu yang disiapkan sebagai jebakan untukku. Sayang, jebakan lu malah menjadi keuntungan bagi gua.”
Dua orang lainnya? Mungkinkah itu Richard dan Elsa?
“Dre!” Wita memanggilku.
Matanya terlihat memerah. Mukanya terlihat pucat pasi. Aku memandangnya dengan muka menyesal. Wita memandangku, kemudian tersenyum.
“Maaf Dre. Maaf karena aku terlalu takut hingga berniat membunuhmu. Maaf juga atas semua lukamu itu. Aku baru tahu sekarang rasanya. Rasa ingin membunuh dan terus melihat darah bercipratan ke mana-mana. Mungkin itu yang kau rasakan dulu. Dan aku mohon tutup matamu, aku tidak ingin kamu melihat aku dibunuh oleh iblis itu.”
“Bicara apa kamu? Aku jelas-jelas yang salah, dan sekarang aku mengerti kenapa kamu benar-benar membenciku. Setelah membunuh adikku sendiri, aku juga berulang kali mencoba bunuh diri karena rasa takutku.” Aku berusaha menggeser kursiku untuk mendekati Wita.
Hujan turun semakin deras membasahi bumi. Walau begitu aku masih dapat mendengar piano dengan lantang berbunyi. Nada yang terpadu dalam satu ikatan musik. Musik yang akan mengakhiri kehidupan wanita di depanku ini. Kutukan Requiem pun dimainkan.
***
            Waktu tepat pukul sepuluh malam. Sebuah jeritan terdengar dari lantai bawah. Richard! Doni benar-benar keterlaluan, memakai adiknya yang tidak bersalah itu hanya untuk menghakimi kami.
            “Dre, dia datang.”
            Aku merasakan sehelai kain yang halus menyenggol tangan kananku. Suara seretan kaki terdengar jelas di sampingku. Darahku bergejolak. Urat-urat tanganku membesar. Detak jantungku semakin tidak karuan. Aku tidak bisa merasakan apapun, bahkan rasa takut itu sendiri. Dua hal yang hanya ada di pikiranku, lari atau mati.
            Kutukan Requiem terus dimainkan. Cahaya terang lampu tidak mampu menerangi kegelapan yang dia bawah. Iblis itu, maksudku Selena terus berjalan menyeret kakinya. Wita yang duduk di sana, mukanya telah pucat pasi.
            “Andre, tolong aku Dre.” Wita berteriak histeris.
            Ibu jari Wita terjatuh di tanah. Aku berusaha memalingkan wajahku. Aku menggeliat dari kursiku, berusaha untuk melepaskan tali yang mengikatku.
            “Andre!” Wita menangis.
            Iblis itu menunduk, dia mencari ibu jari Wita kemudian memakannya. Tragis. Iblis itu mengigiti jari Wita satu per satu. Wita terus menjerit. Berulang kali dia mengejang dan menendang-nendang kursinya, dia kesakitan. Empat jari Wita telah putus dan dimakan di depan mataku. Iblis itu menjilati darah yang mengalir dari tangan kanan Wita yang sudah kehilangan empat jarinya.
            Setiap teriakan Wita, dibalas oleh alunan nada yang indah. Ironi, komposisi indah terbentuk antara musik dan kematian. Kelingking Wita mulai dilumat iblis itu. Saat ini tangan kiri Wita hanyalah sebuah telapak yang terus mengaliri darah. Wita tidak lagi berteriak, tubuhnya lemas. Aku harus melakukan sesuatu, atau Wita akan benar-benar merenggang nyawa.
            “Selena.”
            Iblis itu berhenti menggigit tangan kiri Wita. Dia menengok ke arahku. Wajahnya mampu membuat aku kaku, dan sekali lagi aku tidak berdaya dibuatnya.
            “Kamu seharusnya tidak melakukan ini Selena. Kamu tidaklah terkutuk, kamu sama seperti manusia lainnya. Sekarang berhentilah, dan tenanglah dalam tidurmu.”
            Iblis itu menatapku tajam. Dia terlihat marah. Dia menyeret kakinya dan mendekatiku. Kain hitamnya menutupi wajahku. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan padaku, seluruh tubuhku kaku. Jarinya sudah berkeliaran di punggungku, kukunya yang tajam berkali-kali menusuk tubuhku. Sakit! Aku dapat merasakan punggungku basah oleh darah. Aku berteriak ketika dia merobek kulitku dengan cakarnya. Dia berusaha menguliti punggungku.
            Requiem tiba-tiba berhenti. Pandanganku menjadi terang, tidak ada lagi kain hitam yang menutupi mataku. Rasa sakit akan robekan kulitku masih dapat aku rasakan. Aku menggeliat berusaha mencari obat penahan rasa sakit yang berada di saku celanaku. Dan saat aku merogoh saku kanan celanaku. Aku menemukan sebuah silet di dalamnya.
            “Andre!”
            Teriakan Wita mengagetkanku yang sedang berusaha memotong tali. Requiem kembali dimainkan. Iblis itu mencekik Wita, lalu membawanya melayang, persis dengan yang ia lakukan kepada Bunga.
            “Wita!” Aku berusaha menggapainya.
            Wita dihempaskan olehnya. Jeritan kesakitannya menggema, menyatu dengan bunyi hantaman yang keras. Kutukan Requiem telah berhenti dimainkan. Hanya ada bunyi hujan yang menemani aku dan Wita.
            “Wita, bertahanlah!” Aku merangkak ke arahnya, dan memeluknya erat,
            “Terima kasih Dre.” Wita tersenyum, dia menarik nafasnya panjang, dan tiba-tiba nafasnya berhenti.
            “Wita!” Aku menangis sambil memeluknya.
            Dendam mengisi setiap desiran darahku. Aku akan benar-benar membunuh Doni. Kuambil pisau yang tergeletak di dekatku. Mayat Wita aku baringkan, lalu menutupinya dengan selimut. Aku mencongkel engsel pintu ini, berhasil.
            Di luar ruangan ini begitu sepi. Lampu-lampu rumah ini pun sedikit redup. Aku berjalan perlahan menuju ruang makan, tempat Requiem dimainkan.
***
            “Andre! Tolong!”
            Teriakan itu mencuat dari mulut Elsa ketika melihatku. Di lantai itu Doni menindihnya, sambil memegang sebuah pisau. Elsa berusaha menahan tangan Doni agar tidak menusuknya.
            Aku berlari ke arahnya, dan menebas pisau ke punggung Doni. Dia menoleh, wajahnya terlihat kesakitan. Tapi beberapa menit kemudian dia tertawa. Dia menghentakkan kakinya, dan Requiem berbunyi kembali. Aku menoleh ke arah piano, piano itu bermain sendiri.
            Doni tertawa melihat keherananku. Dia berhasil menusuk tangan Elsa. Elsa menjerit. Aku tersadar dari lamunanku. Aku berusaha menusuk Doni dengan pisau. Terlambat! Sebuah tusukan telah menusuk punggungku.
            Aku menoleh ke belakang. Iblis itu tersenyum melihat ke arahku. Aku berusaha menjauhinya, aku merangkak menuju piano. Aku berusaha untuk menghentikan piano ini berbunyi.
            Di saat itu, aku melihat peti tempat aku duduk bergoyang. Hentakan petinya sangat kuat, seperti ada orang di dalam yang berusaha keluar. Aku berusaha membukanya, sedangkan iblis itu berusaha menarik kakiku.
            Di tengah derasnya hujan dan gelapnya malam, kami masih melanjutkan perjuangan hidup kami. Aku masih berusaha membuka peti itu, berharap ada secercah harapan yang keluar dari dalamnya. Peti itu akhirnya terbuka, dan…
            Cahaya menyilaukan menusuk mataku. Aku tidak bisa merasakan apapun kecuali tangan iblis itu yang melepaskan kakiku. Iblis itu mengaum. Iblis itu berteriak kesakitan. Dan saat cahaya itu menghilang, iblis itu telah tiada.
            Aku melihat ke arah peti itu. Di dalamnya terdapat seorang wanita cantik sedang memeluk pedang. Ibu Lidya! Ternyata selama ini peti ini adalah peti mati. Dan mungkin saja Ibu Lidya yang telah membantuku melenyapkan iblis itu.
            “Tolong gua Dre!” Elsa berteriak.
            Aku dapat melihatnya masih bertarung dengan Doni. Tangan Elsa sudah mencipratkan banyak darah. Dengan tertatih aku berjalan mendekati mereka. Darah terus mengalir dari punggungku.
            Aku berusaha melerai mereka, tapi apa daya tubuhku terlalu lemas untuk melakukannya. Elsa melihatku dengan putus asa, kemudian ia menangis. Dalam sekejap Doni dicekiknya dan dihantamkannya ke atas piano. Doni berontak, dan menusuk mata Elsa.
            Elsa menjerit kesakitan. Darah kembali terciprat ke lantai. Elsa menangis, tapi cengkraman tangannya pada Doni semakin kuat. Doni ditindihnya di atas piano.
            “Cepat Dre! Bunuh Doni dengan pedang itu!” Elsa menunjuk ke arah pedang.
            “Tapi kau juga akan mati.”
            “Aku tidak peduli Dre, cepatlah!”
            Aku mengambil pedang itu. Berat. Suara gesekan pedang itu dengan lantai mampu menyayat hati. Dalam beberapa saat aku memandang Elsa dengan sedih. Dia tersenyum kepadaku.
            Aku menusuknya. Elsa berusaha menahan teriakannya. Doni berontak, dia berusaha melepaskan Elsa dari tubuhnya. Aku terus menusukkan pedang ini semakin dalam. Perut Elsa yang aku tusuk sudah mengeluarkan banyak darah yang membasahi Doni. Elsa memuntahkan darah tepat ke wajah Doni. Doni terlihat ketakutan, dia semakin liar berontak. Elsa sudah semakin sekarat. Aku memperkuat tusukan pedangku.
            Doni mengerang. Erangan itu disertai bunyi petir yang menggelegar. Aku berhasil membunuhnya. Darah Doni tumpah membanjiri piano itu. Darah, darah terciprat di setiap sudut ruangan ini.
            Aku merasa senang melihat darah di mana-mana. Aku menjilati darah mereka satu per satu. Aku belum puas, aku memenggal kepala Doni. Aku juga menusukkan pisau ke bola matanya. Aku menjadi tak terkendali.
            Aku berusaha memotong tanganku untuk mendapatkan lebih banyak daraj. Di saat itu, aku dapat melihat sekilas ibu dan adikku. Mereka tersenyum dan memintaku berhenti. Aku tersadar. Aku melemparkan pedang itu. Aku berjalan keluar dengan memegang luka di punggungku.
            Aku telah beberapa langkah meninggalkan ruang makan Doni. Musik kembali dimainkan di piano itu. Aku sedikit menoleh, Richard sedang memainkan musik indah dengan sepuluh jarinya. Aku tersenyum lega.
            Aku terus berjalan ke luar rumah. Di tengah guyuran hujan darahku mengalir bagaikan sungai kecil. Aku sadar hanya dalam beberapa detik, sebelum semuanya gelap. Aku tidur dalam rintikan hujan yang membasahi darahku.
***
            Tiga minggu telah berlalu. Aku ditemukan oleh seorang polisi daerah dan dia membawaku ke rumah sakit. Beruntungnya aku.
            Sayang, Elsa dan Wita sudah tidak bisa diselamatkan. Begitupula dengan Doni. Tapi diriku tidak benar-benar sembuh. Aku mengalami depresi. Aku takut jika mendengar suara musik. Berulang kali aku berusaha memotong telingaku.
            Aku tidak kuat, tidak tahan lagi. Bayang-bayang iblis itu masih saja menghantuiku. Dan di senin malam itu aku yang sedang duduk di kursi rodaku melihat seorang anak berjalan ke arahku. Rumah sakit begitu sepi pada saat itu.
            Anak itu menggesekkan kukunya ke dinding ruangan. Dia berjalan mendekatiku dengan langkahnya yang diseret. Aku seperti mengenalnya.
            Waktu telah menunjukkan jam sepuluh malam. Sebuah musik diperdengarkan oleh pengeras suara rumah sakit.
            Anak itu telah sampai di depanku. Aku dapat melihatnya dengan jelas, dia tersenyum ke arahku. Richard. Richard terlihat lebih pucat dari biasanya. Dia memelukku erat. Aku merasakan kebahagiaan dalam diriku. Sayang ini tidak berlangsung lama, aku mulai menyadari musik yang diperdengarkan ini adalah Kutukan Requiem. Richard berusaha mengusap pipiku dengan sepuluh jarinya yang manis. Aku tersenyum. Semuanya terasa membahagiakan bagiku hingga aku menyadari sesuatu. Ada yang ganjil dengan Richard. Richard memandangku tajam, dia tertawa sambil menunjukkan pedang yang aku gunakan untuk membunuh Doni dan Elsa. Dan semuanya berakhir di hari itu. Kutukan Requiem benar-benar berakhir, karena aku…
Tamat
           
            “Aku duduk di pangkuan ibuku. Kakakku Doni juga telah bersamaku. Aku memandang tubuhku sendiri, lalu bersama mereka, aku pun pergi. Aku hampir tidak percaya tubuhku mampu bergerak lagi. Kami memutuskan meninggalkan tubuhku. Dan bicara tentang kata terakhir, ini adalah malam selasa terakhir bagiku.” – Richard
           
            Kutukan Requiem memang telah berakhir. Tapi apakah kalian yakin kutukannya benar-benar berakhir? Karena di akhir setiap nada, akan terbentuk nada baru kembali. Musik tidak akan pernah berhenti, begitu pula dengan kutukan ini. Kalian mungkin sudah menjadi salah satu urutan baru Kutukan Requiem. Dan tunggulah, mungkin saja di malam selasa berikutnya, akan ada musik yang akan merenggut nyawa kalian.


           

Komentar

Postingan Populer