Requiem Richard
Aku telah sampai di rumah
Doni. Rumah ini begitu sepi. Elsa keluar dari mobilnya dengan memakai jaket
hitamnya, dia berjalan cepat ke arahku. Dia memelukku erat.
“Kita
tidak tahu apa yang akan terjadi di sana. Iblis itu sudah menunggu di sana. Gua
tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Kita akan menghadapi bahaya di sana.
Jangan mati Dre.” Elsa berbisik padaku.
Elsa
memelukku semakin erat. Air mata terasa di pundakku. Atau mungkin air hujan
yang mulai mengguyur daratan. Entahlah, tidak ada yang tahu pasti. Yang kami
tahu saat ini hanyalah ini adalah nada terakhir yang akan kami selesaikan. Kami
akan menyelesaikan kutukan ini bagaimanapun caranya. Walau dengan bayaran nyawa
sekalipun.
***
“Mama!”
Aku
memalingkan wajahku ke arah teriakan itu. Teriakan itu diteriakan berulang
kali, semakin lama semakin menggema, dan mengiring langkahku mendekatinya. Dan
saat aku merasa semakin dekat dengan sumber teriakan itu, aku kembali berada di
sebuah hutan.
Anak
kecil itu lagi. Dia kembali mengejar sesuatu. Aku kembali mengejarnya. Aku
terus mengejarnya seperti yang biasa aku lakukan.
Dan
dia kembali berhenti di tengah hutan. Di tengah hutan itulah aku kembali
melihat anak kecil tersebut menangis, berteriak kepada anak perempuan itu. Anak
perempuan itu tidak menengok sedikitpun, dengan angkuhnya dia tetap memainkan
sebuah piano.
“Hentikan
dik, hentikan!” Anak kecil itu menangis.
Aku
melihat mereka dari kejauhan. Piano ini mengeluarkan musik yang kukenal,
Requiem! Tidak salah lagi, aku benar-benar mendengar jelas Requiem ini
dimainkan dengan melodi yang menakutkan. Aku yang sering memainkan Requiem
sangat tahu tentang musik ini dari nada pertama hingga nada terakhir. Tunggu! Bukankah
ini adalah Kutukan Requiem? Berarti akan ada seseorang yang meninggal.
Siapa?
Sudahlah, aku takut bertemu iblis itu lagi. Lebih baik aku pergi dari hutan
ini, mencari jalan keluar dari sini.
“Mama!”
Anak kecil tadi berjalan menghampiriku.
Aku
bingung. Apa benar dia menghampiriku? Tidak mungkin, aku saja tidak mengenali
dirinya. Penglihatanku kabur, aku tidak dapat melihat dengan jelas siapa anak
kecil itu. Ah, padahal baru kali ini aku bisa melihat wajahnya.
“Mama!”
Dia menubruk sebuah benda yang terinjak kaki kananku.
Anak
kecil itu menangis. Dia berteriak, kelakuannya semakin menjadi-jadi. Dia
memeluk benda itu seerat mungkin. Perlu beberapa saat hingga aku menyadari
benda itu adalah seorang wanita. Iya, wanita dengan baju hitamnya tergeletak di
bawah pohon beringin.
“Mama,
jangan mati! Hentikan permainannya! Musik ini terkutuk dik, terkutuk!”
Aku
memandang ke arah anak perempuan itu. Dia masih memainkan pianonya tanpa kenal
lelah. Aku dapat melihat semakin jelas, sebuah tangan hitam memegang jari-jari
anak perempuan tadi. Dengan lincahnya tangan hitam itu menggerakkan jari anak
itu, hingga terciptalah permainan piano yang indah. Indah tapi sekaligus
mengerikan. Aku memandang tangan hitam itu sekian lama, hingga aku tersadar ada
seseorang yang duduk di atas piano.
Aku
sangat mengenal orang itu. Dialah iblis terkutuk yang tercipta dari Kutukan
Requiem. Atau mungkin dialah sesungguhnya yang mengutuk Requiem. Dialah Selena.
Entah
mengapa aku mengetahui dirinya, dan selak beluknya. Selena tinggal di sebuah
gubuk kecil di Jerman seratus tahun yang lalu. Kehidupannya tenang, bersama
suaminya dia menjadi pemusik keliling. Banyak musik yang dia mainkan, dan yang
paling diminati masyarakat adalah Requiem. Mungkin karena desa ini terkenal
dengan wabah penyakit menularnya. Penyakit ini akhirnya diderita oleh suami
Selena.
Aku
terdiam. Semua bayangan masa lalu ini seperti sebuah film pendek yang
diputarkan dalam otakku. Aku tidak dapat menolaknya, kisah Selena terus berlanjut
dalam pikiranku.
Selena
yang diminta memainkan Requiem di kerajaan terpaksa tidak datang karena
suaminya sakit. Raja pun marah, dan menghukum Selena dengan memotong ibu
jarinya. Sejak saat itu, Selena tidak pernah mau memainkan Requiem lagi.
Kehidupan
Selena semakin tidak karuan. Suaminya telah meninggal, dan dia tidak
mendapatkan penghasilan. Semua warga ingin dia memainkan Requiem kembali, tapi
Selena menolaknya. Akhirnya karena benar-benar membutuhkan uang, Selena
memainkan Requiem. Entah mengapa, di ruangan tempat dia memainkan Requiem, beberapa
anak tiba-tiba meninggal dunia. Banyak yang mengira Selena telah menaruh
kutukan dalam permainan pianonya. Mereka marah! Dan saat itu juga, mereka
membakar Selena hidup-hidup.
“Aku
mengutuk Requiem untuk selama-lamanya!” Teriak Selena di balik ganasnya api yang
menghabisi tubuhnya.
Keanehan terjadi. Abu Selena
membentuk sebuah susunan nada Requiem.
Aku menggigit bibirku.
Aku tersadar dari lamunanku, namun aku belum sepenuhnya sadar. Entah mengapa
aku sudah memeluk wanita berbaju hitam yang dipanggil mama oleh anak itu.
Wajahnya menyeramkan, tapi dalam hatiku penuh damai memeluknya. Wanita ini
sudah meregang nyawa, mulutnya terbuka lebar. Darah mengalir dari matanya, dan
jari-jari tangannya telah putus.
Aku takut. Tapi semakin
aku takut, semakin aku memeluk wanita ini dengan erat. Aku mulai merasakan
ketentraman dalam diriku. Hingga sebuah darah terciprat ke wajahku.
Anak tadi, dia menusuk
adiknya dengan sebuah dahan yang tajam. Darah terus terciprat ke mana-mana,
adiknya terus menjerit kesakitan. Layaknya seorang psikopat dia tidak puas
melihat cipratan darah itu, dia menusuk mata kanan adiknya dengan ranting.
Adiknya menjerit, hingga mati.
Anak itu gila! Dia bahkan
menggigiti telinga adiknya hingga putus. Dia juga mencakar-cakar pipi adiknya
yang mulus. Semua dilakukannya tanpa ada rasa bersalah. Dia memandang lugu ke
sekeliling, lalu melanjutkan perbuatannya dengan menarik satu per satu rambut
adiknya.
Ganas! Liar! Buas! Mata
adiknya dicongkel dengan beberapa dahan. Dia memainkannya bagaikan sebuah bola
pingpong. Berkali-kali dia tertawa senang melihat bola mata yang dihiasi darah
itu menggelinding bebas di tanah hutan.
Aku memandangnya dengan
ketakutan. Mungkin saja dia sebentar lagi akan membunuhku.
“Siapa kau?”
Sejurus
kemudian anak itu menoleh ke arahku. Dia berlari menghampiriku. Aliran darahku
terasa beku, dan jantungku terasa berhenti. Tapi anak itu terus berlari, hingga
akhirnya dia melewatiku. Di saat dia berlari, dia membuka bajunya yang dipenuhi
darah. Aku dapat melihat tanda lahir di punggungnya. Tanda lahir yang sama
dengan milikku, dan aku akhirnya tahu. Aku tahu arti dari semua ini. Anak kecil
itu bukan seseorang yang kukenal. Dia bahkan tidak pernah bertemu denganku,
karena anak kecil itu sesungguhnya adalah aku. Dan semua hal ini merupakan masa
laluku.
***
“Sudah
bangun Dre?” Seorang lelaki dengan kemeja putihnya tersenyum ke arahku.
Kepalaku
sedikit pusing. Aku memperhatikan sekeliling. Rokok, alkohol, cambuk, dan pisau
tersebar di sekeliling ruangan. Mataku terbelalak melihat pisau yang tergeletak
di lantai, darah yang sudah beku tertempel jelas di situ.
“Mau
pisau ini Dre?” Dia mengangkat pisaunya, lalu menjilat darah yang tertempel di
pisau itu.
Iya,
lelaki dengan kemeja putih itu adalah Doni. Aku teringat terakhir kali aku
berdiri di lantai dua sebuah tusukan mengiris perutku. Aku mencoba melawan,
tapi sekejap sebuah hantaman kasar mengenai punggungku.
Hal itu terjadi setelah
aku dan Elsa masuk ke rumah ini. Rumah Doni tidak terkunci, tapi lagi-lagi
rumah ini sepi. Aku dan Elsa akhirnya memutuskan untuk berpencar mencari
Richard. Aku menuju lantai dua, dia menuju lantai satu. Aku memang sudah
merasakan ada hentakan kaki yang terasa mengikutiku. Tapi aku tidak menyangka itu adalah Doni.
“Darah lu nikmat juga.”
Doni terus menjilati pisau itu.
Aku takut. Aku berusaha
untuk lari. Aku baru menyadari bahwa tubuhku terikat tali. Ikatannya sangat
kuat, aku tidak bisa bergerak sama sekali.
“Mau ke mana Andre? Mau
lari? Lu tega meninggalkan cewek manis di belakang lu?” Doni menunjuk ke arah
belakangku.
Aku menengok ke arah
belakang. Seorang wanita cantik dengan kaus putihnya diikat di sebuah kursi,
sama sepertiku. Dia menunduk, rambutnya acak-acakkan. Tangannya kotor, kakinya
mengalirkan darah.
“Maaf Dre, gua tidak
sengaja menusuk kakinya.” Wajah Doni berada tepat di hadapanku.
“Kau gila!”
Doni memukulku perutku
dengan kencang. Aku mengerang kesakitan, pukulannya tepat mengenai luka
tusukku. Dia lalu mengangkat daguku, mendekatkan wajahku dengan wajahnya. Aku
berusaha berpaling. Doni meludahiku.
“Bunuh saja aku sekarang,
dan lepaskan Wita. Aku tahu kamu dendam sama orang tua kami.”
“Melepaskan Wita? Lu
bahkan tidak tahu dia yang ingin membunuh lu. Dia yang telah berjanji pada gua
untuk membunuh Lidya dan sebagai imbalannya gua akan membunuh lu.”
“Bohong!”
“Sayangnya Wita sendiri
tidak tahu bahwa Kutukan Requiem juga dimainkan untuknya. Ketika dia mengetahui
dia akan terbunuh, dia menjadi ketakutan dan mengirim Reta ke mari. Sayang,
sekali lagi itu hanya menambah mulus rencanaku.”
“Bohong!” Aku berteriak semakin
kencang, suaraku menggema.
“Diam Dre! Itu benar!”
Wita membalas teriakanku dengan teriakannya.
“Tuh, malaikat cantiknya
aja sudah mengakui kejahatannya. Kasihan ya, padahal sepertinya lu cinta sama
Wita.” Doni memutar kursiku, menghadapkanku dengan Wita.
Wita menitikkan air
matanya. Dia terus menunduk. Doni berjalan mendekatinya. Dengan santai Doni
mengelus rambut Wita. Lalu dengan cepat dia menjambang rambut Wita, Wita
menjerit.
“Tapi kenapa Wit?
Kenapa?”
“Kamu yang harus
dipertanyakan Dre. Kamu monster. Kamu tega membunuh adikmu sekeji itu. Kamu
bahkan mengejarku dan hampir membunuhku. Iya aku, gadis kecil yang berdiri di
balik semak belukar itu.”
Aku mengingat semuanya.
Requiem, ibu, adik, dan Wita. Hutan itu tempat aku dan keluarga Wita mengadakan
piknik bersama. Aku dan adikku bermain ke dalam hutan dan menemukan sebuah
piano. Adikku melihat sebuah kertas terselip di piano tersebut. Notasi sebuah
musik, dia memainkannya. Awalnya aku menyukai musik itu, tapi semakin lama
adikku tidak berhenti memainkannya. Berkali-kali aku mengajaknya pulang dan
tidak mendengarku. Hari sudah gelap dan aku berencana melapor ibu. Sayangnya
aku tersesat. Aku kembali ke tempat awal, dan aku menemukan ibuku tergeletak
tak bernyawa di dekat adikku. Aku marah kepada adikku, dan aku kehilangan
kendali.
Ayahku merahasiakan ini
semua dari polisi. Bahkan ayahku memanggil psikolog terkenal untuk membantuku
menghilangkan trauma tersebut. Aku lupa dengan trauma tersebut, bahkan lupa
dengan kejadian itu. Semuanya hanya kuingat di dalam mimpiku.
“Kamu tidak mengerti apa
yang terjadi Wit.”
“Aku mengerti Dre, kamu
memang iblis yang sesungguhnya. Aku takut kamu akan membunuhku, makanya aku
bekerja sama dengan Doni. Aku memberitahukannya tentang Kutukan Requiem. Dan sungguh disayangkan,
Kutukan Requiem itu sendiri yang akan membunuhku sebentar lagi. Ini semua
salahmu Dre!”
“Sudah, sebentar lagi
Requiem akan dimulai, tenanglah. Gua akan pergi mengurus dua orang lainnya.
Tenanglah, dan susulah Reta, sahabat lu yang disiapkan sebagai jebakan untukku.
Sayang, jebakan lu malah menjadi keuntungan bagi gua.”
Dua orang lainnya?
Mungkinkah itu Richard dan Elsa?
“Dre!” Wita memanggilku.
Matanya terlihat memerah.
Mukanya terlihat pucat pasi. Aku memandangnya dengan muka menyesal. Wita
memandangku, kemudian tersenyum.
“Maaf Dre. Maaf karena
aku terlalu takut hingga berniat membunuhmu. Maaf juga atas semua lukamu itu.
Aku baru tahu sekarang rasanya. Rasa ingin membunuh dan terus melihat darah
bercipratan ke mana-mana. Mungkin itu yang kau rasakan dulu. Dan aku mohon
tutup matamu, aku tidak ingin kamu melihat aku dibunuh oleh iblis itu.”
“Bicara apa kamu? Aku
jelas-jelas yang salah, dan sekarang aku mengerti kenapa kamu benar-benar
membenciku. Setelah membunuh adikku sendiri, aku juga berulang kali mencoba bunuh
diri karena rasa takutku.” Aku berusaha menggeser kursiku untuk mendekati Wita.
Hujan turun semakin deras
membasahi bumi. Walau begitu aku masih dapat mendengar piano dengan lantang
berbunyi. Nada yang terpadu dalam satu ikatan musik. Musik yang akan mengakhiri
kehidupan wanita di depanku ini. Kutukan Requiem pun dimainkan.
***
Waktu
tepat pukul sepuluh malam. Sebuah jeritan terdengar dari lantai bawah. Richard!
Doni benar-benar keterlaluan, memakai adiknya yang tidak bersalah itu hanya
untuk menghakimi kami.
“Dre,
dia datang.”
Aku
merasakan sehelai kain yang halus menyenggol tangan kananku. Suara seretan kaki
terdengar jelas di sampingku. Darahku bergejolak. Urat-urat tanganku membesar.
Detak jantungku semakin tidak karuan. Aku tidak bisa merasakan apapun, bahkan
rasa takut itu sendiri. Dua hal yang hanya ada di pikiranku, lari atau mati.
Kutukan
Requiem terus dimainkan. Cahaya terang lampu tidak mampu menerangi kegelapan
yang dia bawah. Iblis itu, maksudku Selena terus berjalan menyeret kakinya. Wita
yang duduk di sana, mukanya telah pucat pasi.
“Andre,
tolong aku Dre.” Wita berteriak histeris.
Ibu
jari Wita terjatuh di tanah. Aku berusaha memalingkan wajahku. Aku menggeliat
dari kursiku, berusaha untuk melepaskan tali yang mengikatku.
“Andre!”
Wita menangis.
Iblis
itu menunduk, dia mencari ibu jari Wita kemudian memakannya. Tragis. Iblis itu
mengigiti jari Wita satu per satu. Wita terus menjerit. Berulang kali dia
mengejang dan menendang-nendang kursinya, dia kesakitan. Empat jari Wita telah
putus dan dimakan di depan mataku. Iblis itu menjilati darah yang mengalir dari
tangan kanan Wita yang sudah kehilangan empat jarinya.
Setiap
teriakan Wita, dibalas oleh alunan nada yang indah. Ironi, komposisi indah
terbentuk antara musik dan kematian. Kelingking Wita mulai dilumat iblis itu.
Saat ini tangan kiri Wita hanyalah sebuah telapak yang terus mengaliri darah.
Wita tidak lagi berteriak, tubuhnya lemas. Aku harus melakukan sesuatu, atau
Wita akan benar-benar merenggang nyawa.
“Selena.”
Iblis
itu berhenti menggigit tangan kiri Wita. Dia menengok ke arahku. Wajahnya mampu
membuat aku kaku, dan sekali lagi aku tidak berdaya dibuatnya.
“Kamu
seharusnya tidak melakukan ini Selena. Kamu tidaklah terkutuk, kamu sama
seperti manusia lainnya. Sekarang berhentilah, dan tenanglah dalam tidurmu.”
Iblis
itu menatapku tajam. Dia terlihat marah. Dia menyeret kakinya dan mendekatiku.
Kain hitamnya menutupi wajahku. Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan
padaku, seluruh tubuhku kaku. Jarinya sudah berkeliaran di punggungku, kukunya
yang tajam berkali-kali menusuk tubuhku. Sakit! Aku dapat merasakan punggungku
basah oleh darah. Aku berteriak ketika dia merobek kulitku dengan cakarnya. Dia
berusaha menguliti punggungku.
Requiem
tiba-tiba berhenti. Pandanganku menjadi terang, tidak ada lagi kain hitam yang
menutupi mataku. Rasa sakit akan robekan kulitku masih dapat aku rasakan. Aku
menggeliat berusaha mencari obat penahan rasa sakit yang berada di saku
celanaku. Dan saat aku merogoh saku kanan celanaku. Aku menemukan sebuah silet
di dalamnya.
“Andre!”
Teriakan
Wita mengagetkanku yang sedang berusaha memotong tali. Requiem kembali
dimainkan. Iblis itu mencekik Wita, lalu membawanya melayang, persis dengan
yang ia lakukan kepada Bunga.
“Wita!”
Aku berusaha menggapainya.
Wita
dihempaskan olehnya. Jeritan kesakitannya menggema, menyatu dengan bunyi
hantaman yang keras. Kutukan Requiem telah berhenti dimainkan. Hanya ada bunyi
hujan yang menemani aku dan Wita.
“Wita,
bertahanlah!” Aku merangkak ke arahnya, dan memeluknya erat,
“Terima
kasih Dre.” Wita tersenyum, dia menarik nafasnya panjang, dan tiba-tiba
nafasnya berhenti.
“Wita!”
Aku menangis sambil memeluknya.
Dendam
mengisi setiap desiran darahku. Aku akan benar-benar membunuh Doni. Kuambil
pisau yang tergeletak di dekatku. Mayat Wita aku baringkan, lalu menutupinya
dengan selimut. Aku mencongkel engsel pintu ini, berhasil.
Di
luar ruangan ini begitu sepi. Lampu-lampu rumah ini pun sedikit redup. Aku
berjalan perlahan menuju ruang makan, tempat Requiem dimainkan.
***
“Andre!
Tolong!”
Teriakan
itu mencuat dari mulut Elsa ketika melihatku. Di lantai itu Doni menindihnya,
sambil memegang sebuah pisau. Elsa berusaha menahan tangan Doni agar tidak
menusuknya.
Aku
berlari ke arahnya, dan menebas pisau ke punggung Doni. Dia menoleh, wajahnya
terlihat kesakitan. Tapi beberapa menit kemudian dia tertawa. Dia menghentakkan
kakinya, dan Requiem berbunyi kembali. Aku menoleh ke arah piano, piano itu
bermain sendiri.
Doni
tertawa melihat keherananku. Dia berhasil menusuk tangan Elsa. Elsa menjerit.
Aku tersadar dari lamunanku. Aku berusaha menusuk Doni dengan pisau. Terlambat!
Sebuah tusukan telah menusuk punggungku.
Aku
menoleh ke belakang. Iblis itu tersenyum melihat ke arahku. Aku berusaha
menjauhinya, aku merangkak menuju piano. Aku berusaha untuk menghentikan piano
ini berbunyi.
Di
saat itu, aku melihat peti tempat aku duduk bergoyang. Hentakan petinya sangat
kuat, seperti ada orang di dalam yang berusaha keluar. Aku berusaha membukanya,
sedangkan iblis itu berusaha menarik kakiku.
Di
tengah derasnya hujan dan gelapnya malam, kami masih melanjutkan perjuangan
hidup kami. Aku masih berusaha membuka peti itu, berharap ada secercah harapan
yang keluar dari dalamnya. Peti itu akhirnya terbuka, dan…
Cahaya
menyilaukan menusuk mataku. Aku tidak bisa merasakan apapun kecuali tangan
iblis itu yang melepaskan kakiku. Iblis itu mengaum. Iblis itu berteriak
kesakitan. Dan saat cahaya itu menghilang, iblis itu telah tiada.
Aku
melihat ke arah peti itu. Di dalamnya terdapat seorang wanita cantik sedang
memeluk pedang. Ibu Lidya! Ternyata selama ini peti ini adalah peti mati. Dan
mungkin saja Ibu Lidya yang telah membantuku melenyapkan iblis itu.
“Tolong
gua Dre!” Elsa berteriak.
Aku
dapat melihatnya masih bertarung dengan Doni. Tangan Elsa sudah mencipratkan
banyak darah. Dengan tertatih aku berjalan mendekati mereka. Darah terus
mengalir dari punggungku.
Aku
berusaha melerai mereka, tapi apa daya tubuhku terlalu lemas untuk
melakukannya. Elsa melihatku dengan putus asa, kemudian ia menangis. Dalam
sekejap Doni dicekiknya dan dihantamkannya ke atas piano. Doni berontak, dan
menusuk mata Elsa.
Elsa
menjerit kesakitan. Darah kembali terciprat ke lantai. Elsa menangis, tapi
cengkraman tangannya pada Doni semakin kuat. Doni ditindihnya di atas piano.
“Cepat
Dre! Bunuh Doni dengan pedang itu!” Elsa menunjuk ke arah pedang.
“Tapi
kau juga akan mati.”
“Aku
tidak peduli Dre, cepatlah!”
Aku
mengambil pedang itu. Berat. Suara gesekan pedang itu dengan lantai mampu
menyayat hati. Dalam beberapa saat aku memandang Elsa dengan sedih. Dia
tersenyum kepadaku.
Aku
menusuknya. Elsa berusaha menahan teriakannya. Doni berontak, dia berusaha
melepaskan Elsa dari tubuhnya. Aku terus menusukkan pedang ini semakin dalam.
Perut Elsa yang aku tusuk sudah mengeluarkan banyak darah yang membasahi Doni.
Elsa memuntahkan darah tepat ke wajah Doni. Doni terlihat ketakutan, dia
semakin liar berontak. Elsa sudah semakin sekarat. Aku memperkuat tusukan
pedangku.
Doni
mengerang. Erangan itu disertai bunyi petir yang menggelegar. Aku berhasil
membunuhnya. Darah Doni tumpah membanjiri piano itu. Darah, darah terciprat di
setiap sudut ruangan ini.
Aku
merasa senang melihat darah di mana-mana. Aku menjilati darah mereka satu per
satu. Aku belum puas, aku memenggal kepala Doni. Aku juga menusukkan pisau ke
bola matanya. Aku menjadi tak terkendali.
Aku
berusaha memotong tanganku untuk mendapatkan lebih banyak daraj. Di saat itu,
aku dapat melihat sekilas ibu dan adikku. Mereka tersenyum dan memintaku
berhenti. Aku tersadar. Aku melemparkan pedang itu. Aku berjalan keluar dengan
memegang luka di punggungku.
Aku
telah beberapa langkah meninggalkan ruang makan Doni. Musik kembali dimainkan
di piano itu. Aku sedikit menoleh, Richard sedang memainkan musik indah dengan
sepuluh jarinya. Aku tersenyum lega.
Aku
terus berjalan ke luar rumah. Di tengah guyuran hujan darahku mengalir bagaikan
sungai kecil. Aku sadar hanya dalam beberapa detik, sebelum semuanya gelap. Aku
tidur dalam rintikan hujan yang membasahi darahku.
***
Tiga
minggu telah berlalu. Aku ditemukan oleh seorang polisi daerah dan dia
membawaku ke rumah sakit. Beruntungnya aku.
Sayang,
Elsa dan Wita sudah tidak bisa diselamatkan. Begitupula dengan Doni. Tapi
diriku tidak benar-benar sembuh. Aku mengalami depresi. Aku takut jika
mendengar suara musik. Berulang kali aku berusaha memotong telingaku.
Aku
tidak kuat, tidak tahan lagi. Bayang-bayang iblis itu masih saja menghantuiku.
Dan di senin malam itu aku yang sedang duduk di kursi rodaku melihat seorang
anak berjalan ke arahku. Rumah sakit begitu sepi pada saat itu.
Anak
itu menggesekkan kukunya ke dinding ruangan. Dia berjalan mendekatiku dengan
langkahnya yang diseret. Aku seperti mengenalnya.
Waktu
telah menunjukkan jam sepuluh malam. Sebuah musik diperdengarkan oleh pengeras
suara rumah sakit.
Anak
itu telah sampai di depanku. Aku dapat melihatnya dengan jelas, dia tersenyum
ke arahku. Richard. Richard terlihat lebih pucat dari biasanya. Dia memelukku
erat. Aku merasakan kebahagiaan dalam diriku. Sayang ini tidak berlangsung
lama, aku mulai menyadari musik yang diperdengarkan ini adalah Kutukan Requiem.
Richard berusaha mengusap pipiku dengan sepuluh jarinya yang manis. Aku
tersenyum. Semuanya terasa membahagiakan bagiku hingga aku menyadari sesuatu.
Ada yang ganjil dengan Richard. Richard memandangku tajam, dia tertawa sambil
menunjukkan pedang yang aku gunakan untuk membunuh Doni dan Elsa. Dan semuanya
berakhir di hari itu. Kutukan Requiem benar-benar berakhir, karena aku…
Tamat
“Aku
duduk di pangkuan ibuku. Kakakku Doni juga telah bersamaku. Aku memandang
tubuhku sendiri, lalu bersama mereka, aku pun pergi. Aku hampir tidak percaya
tubuhku mampu bergerak lagi. Kami memutuskan meninggalkan tubuhku. Dan bicara
tentang kata terakhir, ini adalah malam selasa terakhir bagiku.” – Richard
Kutukan
Requiem memang telah berakhir. Tapi apakah kalian yakin kutukannya benar-benar
berakhir? Karena di akhir setiap nada, akan terbentuk nada baru kembali. Musik
tidak akan pernah berhenti, begitu pula dengan kutukan ini. Kalian mungkin
sudah menjadi salah satu urutan baru Kutukan Requiem. Dan tunggulah, mungkin
saja di malam selasa berikutnya, akan ada musik yang akan merenggut nyawa
kalian.
Komentar
Posting Komentar